@ikhsanyaqub
Surat umumnya kita ketahui sebagai sarana untuk menyampaikan informasi
secara tertulis. Dewasa ini, surat -dalam bentuk kertas- jarang
digunakan karena teknologi yang semakin maju. Namun bukan berarti ia
ditinggalkan sama sekali. Seperti kampus tempat saya "bermain" saat ini,
surat masih banyak digunakan. Saya bahkan "tidur" dengannya setiap hari
selama +/- setahun kepengurusan organisasi tempat saya "berproses".
Sehubungan dengan surat, kemarin (Rabu, 18 Maret 2015) mahasiswa UIN
Jakarta digegerkan dengan munculnya Surat Terbuka bernomor "Istimewa"
oleh bpk. Oman Fathurahman (Mantan Dekan FAH) yang ditujukan kepada bpk
Dede Rosada (Rektor UIN) -Untuk isi surat, selengkapnya klik link
berikut: http://www.rmol.co/read/2015/03/18/195883/Surat-Terbuka-Prof-Oman-untuk-Rektor-UIN-Jakarta-
Surat yang bernada kritis itu agaknya terlambat, mengingat Dekan baru penggantinya (Bpk. Sukron Kamil) sudah seminggu dilantik. Sebenarnya, isu tentang penurunan 9 (sembilan) Dekan fakultas -yang katanya tidak disenangi Rektor- itu sudah lama terdengar, walaupun realitanya yang terjadi hanya 5 (lima); yaitu Dekan FSH, FAH, FTIK, FISIP, dan Dekan FKIK. Selanjutnya adalah Dekan FDI, meski masih sekedar isu.
Secara politis, sepertinya bpk. Oman memang berbeda "kamar" dengan bpk. Dede Ros, meski masih dalam satu "rumah" (alumni HMI). Meski Dekan penggantinya (Bpk. Sukron) juga alumni HMI, namun dalam politik, hal tersebut tidak mutlak menjadi penentu dan ini sangatlah wajar. Terlepas kita ingin menafikkan politik dalam kampus ini atau tidak, berharap politik yang beradab atau biadab, itu tidak ada hubungannya. Ini pun diperkuat oleh tulisan bpk. Oman sendiri pada paragraf ke-21: "...bahwa saya bisa diberhentikan karena alasan tidak memberikan suara dalam pemilihan calon Rektor kepada calon yang kemudian terpilih sebagai Rektor Universitas" yang mana ini ditujukan untuk bpk. Dede Ros.
Kemudian, mengenai Statuta UIN lama yang sudah diwafatkan keberlakuannya oleh Permenag No. 17 Tahun 2014 -seperti yang tertera pada paragraf ke-3 - ini juga pernah jadi obrolan yang "hot" bagi kawan-kawan aktifis mahasiswa UIN Jakarta. Mengingat rahasia umum bahwa KEMENAG RI "dipegang" oleh UIN Jakarta, maka bisa saja kebijakan yang dibuat KEMENAG berasal dari UIN Jakarta. Tapi -kalaupun begitu- (kubu) UIN Jakarta yang mana dulu? Mungkin ini yang perlu diperhatikan.
Misalnya kebijakan tentang pembatasan masa studi mahasiswa S-1 maksimal 10 Semester (5 Tahun), yang mana ini "diuji-coba" dulu oleh UIN Malang, baru kemudian diterapkan di UIN Jakarta. Ini juga termasuk kebijakan yang tertera dalam Statuta UIN baru Pasal 46 (1): “Dekan diangkat dan diberhentikan oleh Rektor atas nama Menteri”, yang kebijakannya sudah ada dari dulu, namun baru direalisasikan oleh UIN Jakarta tahun ini.
Kembali ke "surat-suratan" bpk Oman, sebenarnya saya heran dengan surat yang bisa dikatakan "ketinggalan kereta" ini. Mengapa reaksi-nya telat? Para mahasiswa sudah berdemo jauh-jauh hari, hastag #terimakasihpakoman sudah bermunculan di Twitter, Dekan baru sudah dilantik, lah ini pak Oman baru "bikin" surat? Apa yang melambatkan? Siapa yang menghalangi? Untuk apa surat itu dimaksudkan? Selamat, beliau berhasil membuat saya simpati! Tapi apakah hanya sekedar "simpati"? Atau ada hal lain? Wallahu A'lam.
Ini adalah permainan tingkat "Dewa", dan saya tidak terlalu berani untuk ikut campur, selain karena kebingungan saya sendiri yang mendorongnya. Namun, saya berharap pergolakan apapun yang terjadi sekarang ini, tidak mencederai kepentingan mahasiswa sebagai "konsumen marjinal" dari institusi ini. Terakhir, semoga pak Oman Fathurrahman mendapat balasan atas suratnya itu, agar beliau dapat tidur nyenyak, sehingga disitu beliau tidak lagi merasa sedih. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar