“Sekarang bukan zamannya orde baru lagi yang cenderung
otoriter, tapi yang ada sekarang orde galau yang cenderung melankolis”(Dimas Sigit, Presiden Jurusan Perbandingan Agama 2012).
Sebelum terpikir judul “Epistemologi Galau” yang saya buat,
terbesit di angan saya tentang pikiran-pikiran para pembaca yang menyatakan
tulisan saya ini semacam legalisasi alay, intelektualisme konyol, dan yang
lebih parah lagi yang menyatakan saya “alay garis keras”. Namun pernahkah
pembaca sekalian sadar bahwa fenomena ini memang eksis di sekitar kita?, jadi
saya sarankan para pembaca jangan terburu-buru berhipotesa yang demikian su’udzon-nya kepada saya. Apalagi
melihat proposisi di awal yang berasal dari status FB seorang presiden jurusan,
saya jadi tersadarkan bahwa galau memang tidak pandang jabatan dalam memangsa
kesenangan manusia.
Fenomena seperti ABG (Anak Baru Galau), Jumudisme dsb,
merupakan suatu hal turunan dari konsep galau dalam pikiran kita, yang mana
konsep galau ini terjewantahkan dalam status-status Facebook, Tweet, BBM, sinetron-sinetron,
bahkan sampai ketua komisariat saya bersabda: “Galau berjamaah lebih baik dari
galau munfarid”. Ini semua membuat beberapa pertanyaan dalam kesadaran saya,
seperti “apa itu galau?”, “apakah galau memang ada?”, “apakah kucing juga
galau?” dsb.
Pertanyaan-pertanyaan seperti “Bagaimana saya tahu bahwa saya
dapat tahu kalau saya galau?”, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang ingin
dijawab dalam epistemologi, karena ia adalah suatu upaya rasional untuk
menimbang nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri,
lingkungan sosial, dan alam sekitarnya. Maka dalam epistemologi terdapat suatu
disiplin ilmu yang bersifat evaluatif(menilai), normatif(tolak ukur), dan
kritis(mempertanyakan kembali). Jadi Epistemologi adalah salah satu cabang
filsafat.
Ya, bagaimana saya tahu bagaimana saya tahu kalau saya
galau?, memang pertanyaan yang agak njelimet.
Tapi terlepas dari itu, seyogianya manusia yang kodratnya ingin tahu, jangan
terburu-buru yakin dengan yang kita tahu, karena yang kita tahu itu adalah
anggapan umum yang kita ajeg saja
menerimanya. Mengapa?, karena filsuf Yunani bernama Socrates berkata “tidak ada
seorang manusia pun yang mempunyai pengetahuan”, artinya disaat orang lain
mengira bahwa mereka mempunyai pengetahuan, Socrates bilang dia tahu bahwa ia
tidak tahu (Delphi).
Sementara Plato bilang, filsafat bermulai dari rasa kagum,
tapi bukan rasa kagum seperti kepanikan orang desa yang bingung melihat
kecanggihan Tablet PC, tetapi rasa disini kagum akan sesuatu yang sederhana
yang tampaknya jelas dalam pengalaman harian , galau misalnya. Karena hal-hal
seperti inilah yang paling sulit untuk dilukiskan. Agustinus memberikan contoh
sewaktu dia menanyakan “apa itu waktu?, bila tak ada orang yang menanyaiku, aku
tahu apa itu waktu; tapi jika saya ingin menjelaskannya pada seseorang, saya
tidak tahu”. Seperti halnya “apa itu galau?”, kita pasti sudah nyaman dengan
kejelasan maknanya, tapi apa yang kita tahu adalah apa yang “diketahui semua
orang”, dengan kata lain tak ada seorang pun yang benar-benar mengetahui apa
itu “galau”. Maka Heidegger berkata: “manusia adalah mahluk yang paling aneh,
karena mahluk yang paling dekat dan paling jauh dari rahasia segala yang
dialaminya”.
Rasa kagum menempatkan kita pada pengalaman kita, namun
menempatkan kita dihadapannya sebagai sesuatu yang sama sekali asing, karena
rasa kagumlah yang menjauhkan kita dari pandangan umum yang bersifat yakin akan
sesuatu, tetapi anggapan umum tidak mempertanyakan keyakinan-keyakinan salah
ini dengan menyelidikinya untuk mempertanyakan kedudukan dari
keyakinan-keyakinan yang benar. Itulah sebabnya seorang filsuf tidak dapat
merasa nyaman dalam anggapan umum ini, sebab penemuan sains tidak mau
didamaikan dengan keyakinan-keyakinan hariannya. Sains menjelaskan bahwa dunia
terdiri dari sekumpulan-sekumpulan atom misalnya, tetapi ia mempunyai gambaran
tersendiri mengenai dunia, contohnya ia melihat warna, merasakan panas-dingin,
merasa takut dan galau, tetapi yang diselidiki sains hal-hal yang
dipersepsikannya itu tak ada. Apakah persepsi-persepsinya hanya ada dalam
kepalanya, sementara itu semua berbeda dari kenyataannya?.
Lantas kalau pengetahuan bermaksud mengetahui benda-benda
sebagaimana benarnya, bagaimana kita dapat tahu bahwa kita telah mengetahui
benda-benda itu sebagaimana benarnya?, jangan-jangan apa yang saya sudah saya
anggap sebagaimana benarnya itu hanya kesan-kesan saya saja?, atau
jangan-jangan apa yang sudah saya anggap benar itu hanyalah tipuan dari
kesan-kesan saya yang terpengaruh anggapan umum?.
Dalam perdebatan epistemologi, saya dapat menyimpulkan dua
aliran besar dalam filsafat, yaitu aliran rasionalisme dan empirisme. Kita
dalam kegiatan “mengetahui” itu lebih menjagokan mana? Rasio kah atau
pengalaman kah?. Tapi sebelum melangkah jauh ke dua aliran itu, coba kita
bayangkan, apakah yang bisa galau itu hanya manusia?, lebih mundur lagi, apakah
galau itu memang “ada”?. Sepertinya kita butuh pemahaman ontologi terlebih
dahulu.
Tuhan menciptakan segala sesuatu yang “ada”, karena tidak
mungkin Dia menciptakan sesuatu yang “tidak ada”, sebab kalau tujuannya “tidak
ada”, ya tidak usah diciptakan gitu loh!, toh “tidak ada” memang “tidak ada”.
Maka dari “tidak ada” ini, diciptakan-Nya lah supaya “ada”. Tetapi jangan kita
sama artikan kata “cipta” menurut manusia dan Tuhan. “Cipta” menurut manusia
itu membutuhkan anasir-anasir atau bahan baku,
sedangkan Tuhan?. Pernyataan seperti ketidakmungkinan Tuhan menciptakan Tuhan
lain yang lebih kuat dari-Nya, menyiratkan makna bahwa Tuhan itu hanya berkuasa
pada sesuatu yang “ada”, karena memang tuhan-tuhan lain selain Dia itu “tidak
ada”, maka Dia tidak berkuasa atas yang “tidak ada”. Sampai disini, ada
hipotesa awal bahwa Tuhan itu menciptakan yang “ada”, maka yang “ada” adalah
ciptaan-Nya. Tanpa adanya “ada”, “galau” pun tidak ada, karena “galau” adalah
bagian dari “ada” itu sendiri. Oke, sampai disini saya berpendapat bahwa
“galau” itu “ada”.
Lantas kalau memang “galau” itu “ada”, apakah galau itu
melulu hak manusia?, seperti contoh apakah kucing betina yang sehabis dikawini
si jantan lalu ditinggal pergi, si betina tidak galau?, lalu mengapa istrinya
bang Toyib galau?, apakah perbedaan kucing dengan manusia?. Kalau memang ya,
kucing tidak bisa merasakan “galau”, berarti ia juga tidak bisa merasakan
“senang”, berarti juga ia tidak dapat merasakan perasaan-perasaan apapun,
hampa, kosong maknanya. al-Insan
hayawaanu an-Natiq, adalah definisi manusia. Jadi tidak ada bedanya manusia
dengan kucing, karena mereka sama-sama binatang, tapi hanya “binatang manusia”
lah yang bisa berpikir (menilai, memberi makna, dan menghayati), jadi berpikir
adalah differensiasi/pembeda dari definisi manusia.
Dalam oposisi biner, kita mengenal kata “galau” beroposisi
dengan “senang”, seperti halnya “gelap” beroposisi dengan “terang”. Kalau
melihat oposisi-oposisi seperti ini, saya jadi teringat dialog antara Albert
Einstein dengan Dosennya:
Dalam sebuah kuliah Einstein
berdebat dengan dosennya, setelah dosen itu berkata: “Tuhan menciptakan yang
‘ada’, maka menciptakan kebaikan dan kejahatan”. Lalu Einstein berkata: “Professor, apakah dingin itu ada?”. “Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada, Apakah kamu tidak
pernah sakit flu?” Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa
lainnya. “Kenyataannya pak, dingin itu tidak
ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas.
Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali, dan semua partikel menjadi diam
dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk
mendeskripsikan ketiadaan panas”, “Professor,
apakah gelap itu ada?”. Professor itu menjawab: “Tentu saja gelap itu
ada”. “Sekali lagi anda salah pak., Gelap itu juga tidak ada. Gelap
adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak”.
Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan
mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna, tapi anda tidak bisa
mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas
cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan
ketiadaan cahaya”, “Professor, apakah
kejahatan itu ada?”. Dengan bimbang professor itu menjawab, “Tentu saja, seperti yang
telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak
perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut
adalah manifestasi dari kejahatan”. “Sekali lagi Anda salah pak.
Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau
gelap, kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan
ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari
tidak hadirnya Tuhan di hati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan
panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya”. (http://thelando.wordpress.com/2011/08/26/sebuah-dialog-mahasiswa-brilian-dengan-professor-tentang-tuhan/)
Dari dialog di
atas, dapatkah kita tarik pemahamannya ke judul ini? Kalau “galau” beroposisi
dengan “senang”, berarti galau itu tidak ada, karena kita tidak bisa mengukur
kadar intensitas galau dalam diri kita, yang kita bisa ukur adalah kadar
intensitas “senang” dalam diri kita. Jadi “galau” hanyalah deskripsi
ketidakhadiran “senang” dalam diri kita, galau adalah lowhappy, senang yang hampir habis, begitu kira-kira. Tetapi saya
sendiri memahami Einstein sebagai positivis, karena dia menganggap yang “ada”
adalah sesuatu yang dapat diukur. Sampai disini, kita mempunyai hipotesa baru,
yaitu “galau” itu “tidak ada”, karena tak dapat diukur.
Memang
positivisme lebih mempersempit lagi dari induknya, empirisme. Empirisme, sejauh
yang saya tahu, mendasarkan kebenaran pada pengalaman. Metode yang digunakan
adalah induktif. Manusia setelah lahir belum tahu apa itu “galau”, lantas
setelah dia beranjak alay-lah dia mengalami pengalaman-pengalaman “galau”. Jadi
pengetahuan manusia itu murni karena pengalaman, kira-kira begitu singkatnya
empirisme. Tapi ada satu permasalahan dalam empirisme, semisal kalau yang kita
percayai sebagai pe-ngetahuan adalah melulu dari pengalaman, lantas apakah kita
tidak percaya bahwa 1.000.000x1.000.000=1.000.000.000.000?,
bukankah hitung-hitungan sebanyak itu hanya dapat dilakukan di dalam rasio?.
Jadi galau itu cuma masalah pengalaman saja, jika anda tidak ingin galau, ya
jangan melakukan perbuatan-perbuatan yang membuat anda galau.
Lain halnya
dengan Rasionalisme, yang mendasarkan kebenaran hanya pada rasio/pikirannya
saja, tapi bukan berarti empiris ditolak, tapi empiris adalah sarananya saja.
Metodenya adalah deduktif. Jadi pengetahuan lebih utama didapat dari rasio.
Rasiolah yang memberi makna bahwa kejadian jomblo seumur hidup itu adalah
“galau”. Jadi galau itu cuma masalah pemberian nilai dan makna atas
pengalaman-pengalaman oleh rasio kita, jika anda tidak ingin galau, ya jangan
maknai pengalaman seperti dompet hilang itu adalah galau, berilah makna itu
adalah senang, atau setidaknya biasa-biasa saja lah.
Beda dengan
aliran pragmatisme yang melihat kebenaran hanya dari hasilnya/ untungnya bagi
manusia, terserah mau rasionalis atau empiris, yang penting ada untungnya. Jadi
selagi galau itu menghasilkan semangat untuk menekuni hal-hal yang lebih
penting, tentu akan menguntungkan kehidupan kita sebagai manusia bukan?.
Sebagaimana sastrawan yang dia harus selalu galau untuk menghasilkan karya-karya
sastranya, dan juga sebagaimana kita sebagai muslim yang harus selalu galau
akan neraka, supaya rajin beribadah untuk menghasilkan surga. Galau is the spirit of human being lah
pokoknya.
Sebagai penutup,
saya akan mengutip salah seorang aktivis galau yang sekarang sedang menjabat
sebagai presiden jurusan Perbandingan Agama di fakultas saya: “Proses
terjadinya galau adalah bermula dari sebuah masalah yang sebetulnya tidak
penting, kemudian masalah tersebut ingin di cerna oleh otak yang kosong, sehingga
otak tidak dapat mencernanya dengan baik. Akibatnya masalah itu mengambang
tidak menentu (macam roh penasaran). Tapi yang kemudian menjadi masalah besar
adalah kelebayan yang diangkat kepermukaan yang menjadi fenomena, mulai dari
iris tangan sampai pada ketidakjelasan sikap terhadap lingkungan, untuk para
pejuang realitas hidup hilangkan lah fenomena yang seharusnya menjadi pelajaran
bukan menjadi fatalisme dengan kelebayaan yang seharusnya dibuang dan menjadi
instropeksi diri”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar