A.
Pendahuluan
Agama islam adalah agama pembawa
pertolongan bagi umat manusia. Hal ini tentu saja dibuktikan dengan tegaknya
nilai-nilai kemanusiaan pasca islam. Hal ini bukan saja membawa dampak
terangkatnya harkat umat manusia, akan tetapi juga mengangkat martabatnya, baik
secara moral, sosial, maupun intelektual.
Perkembangan islam dari tahun ke
tahun sangat memukau, melewati gurun-gurun pasir Arab sampai India, menyebrangi
lautan sampai Eropa, dan bahkan mengarungi samudra sampai nusantara.
Perkembangan dan perluasan ini bukan hanya membawa pengaruh-pengaruh islam
secara teologis, melainkan juga membawa serta pemikiran-pemikiran filosofis
dari para pendahulunya.
Indonesia adalah negara berpenduduk
muslim terbanyak di dunia, yang mana hal ini tentu menyimpan banyak pertanyaan,
khususnya bagi para pemerhati filsafat. Apakah ada filsafat islam di Indonesia?
Kalaupun ada, seperti apa bentuknya? Siapa tokoh-tokoh yang terkenal dan siapa
pula yang mempengaruhinya? Makalah ini akan mencoba mengurai bentuk-bentuk
filsafat islam di Indonesia.
B.
Sejarah
dan Bentuk Filsafat Islam di Indonesia
Islam Indonesia memiliki
karakteristik tersendiri dengan Islam di negara lainnya, karena Indonesia dalam
sejarah panjangnya khususnya sebelum Islam masuk terlebih dahulu 'terbangun'
peradaban Hindu yang memiliki akar kuat dalam diri dan kepribadian bangsa
Indonesia, ditambah lagi suatu kenyataan bahwa saat penetrasi Islam ke
Indonesia tidak merekonstruksi total terhadap kondisi budaya yang ada dapat
menjadi pijakan utama bahwa tradisi filsafat Islam Indonesia memiliki
kecenderungan kuat terhadap gnotisme disebabkan kecenderungan Hinduisme.
Sehingga tentunya dalam aspek
tradisi filsafat Islam lebih banyak dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang
sebagaimana dalam pemetaan ini memang terlalu dini dan sederhana, karena itu
dalam tulisan ini hanya sebagai upaya pembacaan awal untuk melacak tradisi
filsafat Islam Indonesia dengan kafasitasnya yang sangat terbatas dan tidak
membicarakan secara detail menurut ukuran abad tertentu, makanya tidak
ditemukan pembahasan yang komprehenshif tentang tradisi tersebut. Tulisan ini
dengan segala keterbatasannya akan menggali aspek apa saja yang membentuk
kecenderungan dan tokoh-tokoh yang memainkan peran dalam mengembangkan tradisi
filsafat Islam khususnya dalam konteks lokal yang telah menyatu dalam 'aliran
darah' pemikiran Islam di Indonesia secara umum dan dibentuk dengan kuat oleh
realitas yang ada dalam diri para pioner tradisi tersebut.
Menurut penulis perkembangan
filsafat Islam Indonesia sangat berkaitan dengan sejarah awal Islam masuk ke
Indonesia yang dalam teori umum selalu diperpegangi kuatnya daya tarik dari
luar Indonesia sendiri khususnya kawasan India dan Timur Tengah, bahkan menurut
studi yang dilakukan Azyurmardi Azra setidaknya ada dua teori, yaitu 'teori
perniagaan' dan 'teori sufi', akan tetapi nampaknya Azra lebih memegangi bahwa
'teori sufi'lah yang paling dominan dibanding 'teori perniagaan' dalam
pengembangan Islam di wilayah Nusantara tersebut.[1]
Sufisme mulai mengakar dalam
perbincangan kefilsafatan sejak awal tahun 1400-an hingga seterusnya.
Perkembangan Sufisme itu dipicu oleh berdirinya kerajaan-kerajaan dan
kesultanan-kesultanan Islam yang masif di Indonesia. Raja-raja dan sultan-sultan
seperti Sunan Giri, Sunan Gunungjati, Sunan Kudus, Sultan Trenggono, Pakubuwana
II, Pakubuwana IV, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah, Engku
Haji Muda Raja Abdullah Riau hingga Raja Muhammad Yusuf adalah raja-sufi;
mereka mempelajari Sufisme dari guru-guru Sufi terkemuka.[2]
Sufisme di Indonesia dapat dibagi ke
dalam dua kelompok: Ghazalisme (sufi moderat yang 'kaya kekuatan' fikih) dan Ibn Arabisme (sufi model falsafi).
Ghazalisme utamanya terinspirasi oleh ajaran-ajaran Al-Ghazali, sedangkan Ibn
Arabisme dari doktrin-doktrin Ibn Arabi. Sufi-sufi dari jalur Al-Ghazali adalah
seperti Nuruddin Al-Raniri, Abdurrauf Al-Singkeli, Abd al-Shamad Al-Palimbangi,
dan Syekh Yusuf Makassar, sementara yang dari jalur Ibn Arabi adalah Hamzah Al-Fansuri,
Al-Sumatrani, Syekh Siti Jenar, dan lain-lain.[3]
Dengan demikian melihat gejolak
perkembangan pemikiran tersebut dapat diduga ada kemungkinan kalau tradisi
tasauf falsafi inilah generasi pertama 'filosof Islam Indonesia' yang lebih
didominasi dibanding model tasauf modern, karena dapat disebutkan diantaranya
yang cukup populer adalah Al-Fansuri dan sederetan nama sufi lainnya seperti
Al-Sumatrani, Siti Jenar dan Ronggowarsito yang memiliki kecenderungan yang
sama dalam pengembangan ajaran tasauf falsafi khususnya ajaran wahdat al-Wujud.
Ajaran wahdat al-Wujud sendiri dikembangkan oleh sufi besar Ibn 'Arabî
merupakan pengembangan dari ajaran al-Hululnya Al-Hallaj yang konteks Indonesia
'sangat kental' dalam pemikiran Siti Jenar khususnya tentang doktrin "ana
al-Haq", bahkan dari aspek pengaruh doktrin tersebut antara Al-Hallaj dan
Siti Jenar mengalami nasib tragis yang sama, yaitu dihukum mati hati oleh
kalangan yang tidak sependapat dengan doktrin tersebut khususnya para fukaha'
yang merasa sebagai 'pengawal umat'.[4]
Fase selanjutnya berbeda dengan
generasi pertama nampaknya generasi ini telah banyak dipengaruhi oleh pemikiran
pembaharuan yang diserukan oleh beberapa sarjana khususnya yang perihatin atas
keterbelakangan umat Islam kalaulah dapat disebut diwakili oleh angkatan H.O.S.
Cokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Sukarti dan lainnya lebih cenderung aktivitas
filsafatnya dipengaruhi oleh kondisi politik penjajah yang terjadi, sehingga
konsentrasi para 'filsuf Islam' ini lebih banyak mencurahkan konsentrasinya
pada aspek perjuangan dengan memunculkan pemikiran yang dapat mempercepat
'pengusiran' penjajah dan menggalang kepentingan sosial.[5]
Di saat Modernisme Islamik, yang
memiliki program yaitu menyintesis ajaran-ajaran Islam dengan filsafat Pencerahan
Barat, dimulai oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani di Mesir tahun
1800-an, maka muslim-muslim di Indonesia juga mengadopsi dan mengadaptasinya.
Ini nampak jelas dalam karya-karya yang dihasilkan oleh Syaikh Ahmad Khatib,
Syaikh Thaher Djalaluddin, Haji Abdul Karim Amrullah, Kyai Ahmad Dahlan,
Mohammad Natsir, Oemar Said Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Haji Misbach, dan
lain-lain.[6]
Kemudian dapat disebut generasi
ketiga diwakili M. Rasyidi, karena beliau adalah orang yang pertama mengkonsentrasikan
dirinya dalam kajian filsafat Islam menurut jenjang pendidikan, tetapi sayang
sejauh yang penulis ketahui tidak ada karyanya dalam bidang filsafat Islam yang
ada hanya beberapa saduran dari penulis asing.[7]
Selain Rasyidi nampaknya yang cukup memberikan perhatian tinggi terhadap
filsafat Islam adalah Ahmad Hanafi, setidaknya karya beliau tentang filsafat
Islam yang dapat menjadi kontribusi terhadap kekurangan literatur filsafat
Islam yang berbahasa Indonesia. Sedangkan pada tingkat pendidikan formal tingkat
doktor masih sejauh pengetahuan penulis yang menjadikan filsafat Islam menjadi
kesarjanaannya tercatat ada Amin Abdullah, Komaruddin Hidayat, Mulyadi
Kartanegara, dan masih banyak sarjana lainnya yang belum terdata penulis.[8]
Semuanya itu mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan kondisi baik
generasi pertama atau kedua sebagai bukti bahwa tradisi filsafat Islam telah
mendapatkan tempatnya khususnya di lembaga pendidikan tinggi Islam Indonesia.
C.
Penutup
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa tradisi filsafat Islam Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup
signifikan baik dari generasi pertama hingga ketiga yang dapat dipertegas bahwa
karakternya, yaitu generasi kecenderungannya gnotistik murni khususnya
pemikiran Ibn 'Arabî, kedua. Kecenderungan filsafatnya lebih ditekankan pada
upaya membangkitkan semangat kehidupan berbangsa yang bebas dan merdeka, dan
ketiga. Kecenderungan filsafatnya lebih bersifat akademis dengan munculnya
sederetan doktor dibidang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang) 1971.
Nasr,
Syed Hossein., Islamic Spirituality II:
Manifestations, (New York: Crossroad) 1991.
Noor,
Deliar., Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES) 1996.
http://id.wikipedia.org
http://www.waspada.co.id
[1] http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5904&Itemid=52
[2]
Syed Hossein Nasr, Islamic Spirituality II:
Manifestations, hal. 282-287
[3] Ibid.
[4]
Hamka, Perkembangan Kebatinan di
Indonesia, hal. 62-64
[5] http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5904&Itemid=52
[6]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di
Indonesia, hal. 37
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_Indonesia
[8] http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5904&Itemid=52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar