@ikhsanyaqub
Sekarang
ini banyak organisasi-organisasi bermunculan, dengan beraneka ragam
simbol-simbol yang dibawanya. Sebagai masyarakat yang beriklim demokrasi, hal
ini tentunya sangatlah wajar, dimana organisasi adalah wadah yang sangat
potensial untuk menghimpun kekuatan demi tercapainya suatu tujuan. Dalam
pencapaian suatu tujuan ini, pastilah timbul banyak permasalahan. Permasalah
yang dihadirkan penulis dalam tulisan ini lebih banyak mengenai hal-hal apa
saja yang dihadapi organisasi dewasa ini, terutama seputar semangat dan rasa
berorganisasi, yang sekarang ini kurang terasa greget-nya, serta bagaimana menjawab tantangan ini.
Seperti
telah disebutkan diatas, banyak organisasi yang bermunculan sekarang. Ini semua
menurut penulis lebih disebabkan karena banyaknya masyarakat, dimana dalam
suatu masyarakat tidak mungkin mempunyai satu tujuan dan pandangan hidup yang
sama. Mereka yang mempunyai kesamaan, atau lebih tepatnya kemiripan dalam
tujuan dan pandangan hidupnya, menghimpun dan menyatakan berdirinya suatu
organisasi sebagai wadah untuk merealisasikan kehendak jiwa mereka.
Kehendak
jiwa yang ingin bersatu ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya
adalah faktor kesamaan sejarah. Kalau kita flash
back lahirnya bangsa Indonesia pada tanggal 28 oktober 1928 yang ditandai
dengan peristiwa Sumpah Pemuda, maka akan terlihat bahwa kesamaan sejarahlah
yang menjadi faktor timbulnya kehendak jiwa mereka untuk menyatukan diri melawan penjajahan, yang
membelenggu kebebasan mereka sekitar tiga abad.
Kehendak ini lalu direalisasikan dengan pendirian negara Indonesia pada
tanggal 18 agustus 1945, yang ditandai dengan ditetapkannya Pancasila sebagai
dasar negara, dan UUD 1945. Disini
Indonesia sudah berbentuk negara/organisasi, yang didalamnya terdapat struktur
kekuasaan untuk mengatur wadah ini. Sampai disini kita telah mengetahui
perbedaan antara bangsa dan negara.
Ada
kemiripan antara sejarah Indonesia dengan sejarah kekhalifahan Islam. Kekhalifahan
disini merujuk pada kepemimpinan Nabi Muhammad sampai Ali bin Abi Thalib,
dimana sebelum terciptanya sistem organisasi kekhalifahan ini, telah ada suatu
kehendak jiwa orang-orang Islam untuk menyatukan diri melawan diskriminasi
orang-orang suku Quroish, yang ditandai dengan peristiwa hijrah dari Mekah ke Madinah yang dipimpin Nabi. Baru setelah itu
berdirilah organisasi kekhalifahan, yang ditandai dengan piagam Madinah.
Kemiripannya terletak pada menomor-satukan kehendak jiwa atau semangat
persatuan daripada kekuasaan.
Berbeda
halnya dengan sejarah Amerika Serikat, dimana kekuasaan dalam bentuk organisasi
kenegaraan dibentuk terlebih dahulu, yang ditandai dengan Declaration of Independent tahun 1776, lalu disusul pernyataan
kehendak rakyatnya yang ditandai dengan slogan We are the American people tahun 1778. Begitu halnya dengan
Inggris, Malaysia, dsb. Ada hal yang
menarik dalam beberapa sejarah diatas yang dapat diambil pelajaran untuk
kehidupan berorganisasi. Kata kuncinya adalah antara “kehendak jiwa/kehendak
bersama” dan “kekuasaan”.
Bangsa
sebagaimana didefinisikan adalah kehendak jiwa yang ingin bersatu, sedangkan
negara adalah organisasi/kekuasaan yang mengatur rakyat. Bangsa adalah mutlak
adanya karena sebagai ketetapan Tuhan. Ini tercantum dalam surat al-Hujarat
ayat 13, yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal…”. Sudah jelaslah bahwa bangsa
adalah ciptaan Tuhan, maka dari itu ia mutlak adanya. Sedangkan negara dengan
segala sistem struktur kekuasaan dan peraturannya adalah ciptaan manusia, maka
dari itu ia adalah relatif adanya, tidak tetap adanya, layaknya manusia yang
relatif dan tidak tetap.
Hal
ini begitu penting karena kehendak jiwa dengan kekuasaan amat lah berbeda.
Kehendak ini sifatnya idea, yang kemudian lahir keyakinan dan kultur bersama
dalam bentuk ideologi. Disinilah dasar kekuatan terciptanya suatu organisasi
yang mengandalkan kekuasaan. Sehingga nantinya segala hukum dan peraturan yang
dibuat, itu merujuk pada kehendak bersama tadi, dan hasilnya adalah tidak ada
anggotanya yang dirugikan. Berbeda halnya dengan kekuasaan sifatnya adalah
material, kerena berbentuk struktur dan sederet peraturan organisasi tersebut.
Disinilah politik mengambil peran penting dalam segala kebijakan yang dibuat.
Kekuasaan dapat membantu dalam realisasi kehendak jiwa itu, tetapi dapat
menjadi boomerang mematikan jika tidak di feed
back kembali pada kehendak bersama itu. Lalu bagaimana ingin di feed back kan, kalau kekuasaan ini
diangkat lebih dahulu?.
Mungkin
inilah kiranya yang menjadi penyebab utama lesunya minat orang untuk
berorganisasi sekarang ini. Kultur yang sudah ada mulai dilupakan, bahkan tidak
tahu. Semangat perjuangan dan persatuan telah luntur, sehingga menjadikan
ketidakjelasan tujuan. Tujuan yang jelas hanyalah hal-hal yang berbau politik
dan kekuasaan dimana uang adalah martirnya. Organisasi memang alat, tetapi alat
untuk persaudaraan, kekeluargaan, pencapaian cita-cita bersama, bukan alat
memuaskan orang-orang yang materialis pragmatis yang haus akan nama baik,
jabatan, kesohoran, dll. Organisasi seperti ini adalah pembodohan, menghapus
norma-norma etika dan moral, “benar” dan “tidak benar” tidak berlaku, tetapi
hanya sekedar retorika (teknik meyakinkan). Maka dari itu, dalam berorganisasi,
seharusnya dimensi kultural lebih diutamakan dari dimensi struktural. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar