@ikhsanyaqub
Setiap manusia tentu
pernah/punya mimpi, angan-angan, atau cita-cita yang diharapkan dapat terwujud
dalam kenyataan. Mimpi seperti itu merupakan gagasan ideal yang bisa menjadi
sebab kemengarahan (intensionalitas) seseorang pada sesuatu. Sesuatu ini
baginya adalah unsur-unsur/elemen-elemen yang dapat menunjang gagasan idealnya
tersebut. Di dalam kemengarahan ini terdapat pembelajaran baginya, agar kelak
ia tidak menemukan kesulitan yang berarti. Karena mudah adalah jika dia sudah
mengetahui caranya.
Semisal saya mempunyai mimpi
untuk menjadi seorang intelektual, membahagiakan kedua orang tua, mempunyai
pasangan hidup yang mendekati sempurna, anak-anak yang tahu berbalas budi, dan
harta yang cukup. Semisal pula teman saya mempunyai mimpi menjadi seorang
birokrat, atau mungkin ustadz saya yang mempunyai mimpi menjadi penghuni surga.
Hal-hal ini nantinya akan mempengaruhi kemengarahan seseorang, mencari cara
menggapainya, dan ia akan berproses didalamnya. Nah mimpi-mimpi seperti ini
biasanya kelak akan menjadi patokan/indikator kesuksesan dirinya sendiri.
Adakalanya dalam proses ini,
seseorang menemukan titik jenuh. Suatu angin kegelisahan yang meniup kencang
api semangatnya. Disaat kondisi seperti inilah seseorang berkemungkinan untuk
tetap mempertahankan mimpinya kah, mengubah mimpinya kah, atau bahkan putus asa
lemah tak berdaya menghilangkan mimpi-mimpinya. Apalagi di zaman Orde Galau
seperti sekarang yang cenderung melankolis, orang yang putus asa ini biasanya mempunyai
semboyan hidup “apapun itu yang penting menguntungkan, yang penting bisa
hidup”; suatu semboyan apologistik untuk menghibur diri sendiri karena kematian
mimpinya.
Orang yang seperti ini tak
mempunyai patokan ideal dalam merajut benang-benang kehidupan. Walaupun
kepragmatisannya itu adalah patokan ideal itu sendiri, namun ia akan cenderung
berpikiran yang sifatnya temporal, plin-plan, dan tak bisa dipegang komitmennya
untuk berjuang menggapai mimpi-mimpi bersama, khususnya dalam suatu organisasi
perjuangan, dimana segarnya embun ambisi pembelajaran seharusnya belum kering
terpanggang terik ambisi keuntungan.
Perlu diperhatikan, mimpi kadang
pula menyesatkan. Banyak orang menyesali mimpinya, karena setelah dia berproses
cukup lama, baru ia sadar mimpinya itu salah. Indikator penilaian salah dan
benar ini, bisa didapatkan setelah ia “menyebar” dan mempunyai lingkungan yang
tidak pas dengan apa yang dulu disangka-sangka. Semisal lingkungan masyarakat,
keluarga, atau rekan-rekan kerjanya yang mempunyai sosiokultural dan psikologis
yang berbeda, sehingga apa yang dulu dia pelajari dari proses kemengarahannya,
ternyata mentah di lingkungan baru itu. Segala macam gagasan, metode, dan
strategi yang ditawarkan diacuhkan, ditertawakan, bahkan dihujat: “mimpi di
siang bolong”.
Mimpi haruslah diperjuangkan, bukan
hanya sebatas lelucon. Namun dalam memperjuangkan mimpi itu hendaknya
berhati-hati, karena konsekwensinya kepada diri sendiri. Intinya adalah
bagaimana kita menjadi orang yang bijaksana. Perjuangan adalah bagaimana kita berusaha
sepenuh jiwa dan raga mematerikan mimpi, bukan hanya bisa memimpikan materi.
Sebab proses dan hasil mematerikan mimpi itu akan menghasilkan kebahagiaan,
karena kebahagiaan adalah apa yang manusia cari setelah ia terlempar ke dunia
ini. Kebahagiaan inipun hendaknya mengakomodir orang lain didalamnya.
Bersyukur, Ikhtiar, dan ikhlas kepada Allah SWT akan menjamin itu semua. Yakin
itu adalah takdir kita. Selamat bermimpi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar