@ikhsanyaqub
Himpunan Mahasiswa Islam, atau biasa disingkat HMI,
adalah organisasi kemahasiswaan tertua yang eksistensinya masih terjaga sampai
saat ini. Selalu terngiang di kepalaku ketika seorang senior berkata: “HMI tak
pernah mati karena sebagai sebuah himpunan, yang mana secara letter look berarti silaturahmi,
sedangkan Allah menjanjikan panjang umur kepada siapa yang mempererat tali
silaturahmi”. Apalagi dalam silaturahmi ini tujuannya adalah memperjuangkan
agama Allah, dimana Allah sendiri berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,
jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu.”(Q.S 47:7). Maka hal yang paling diutamakan dalam himpunan ini
adalah keyakinan kita kepada Allah dalam perjuangannya.
Keyakinan yang dimana tidak ada keraguan didalamnya,
haruslah bersandar kepada sesuatu yang tidak dapat diragukan pula. Tidak
diragukan ini dimaksudkan, bagaimana sesuatu itu tidak rapuh, tidak
berubah-rubah, tidak hanya sebagian, atau bisa disebut “kebenaran mutlak”.
Kebenaran mutlak ini dalam Islam dibahasakan dengan Allah SWT.
Percaya kepada sesuatu yang bersifat materil dapat
membuat seseorang mudah digoyah, mudah untuk ditekan. Kalau sudah seperti itu,
maka kemerdekaan dirinya atas dirinya sendiri sudah tercerabut dari akar
keakuannya (keilahian). Oleh karena ideologi yang dianutnya tersebut, HMI
menjadi organisasi yang menjunjung tinggi nilai independensi. Ia tidak
bergantung pada apapun dan siapapun kecuali Tuhannya.
Namun melihat fenomena HMI kontemporer, penulis melihat
kader-kadernya justru semakin jauh dari nilai independensi itu tadi. Hal ini
terlihat dari semakin bergantungnya junior kepada senior, dimana senior itu
adalah manusia, dan manusia itu adalah materi. Ketergantungan inipun karena
para junior merasa perlu untuk mencari muka dengan senior. Sehingga dengan
mudahnya dia di-stir dalam hal
politis, bahkan sampai pada aspek kaderisasi. Hal ini berdampak pada
berkurangnya kualitas pengkaderan di HMI, sampai pada akhirnya masing-masing
saling membesarkan “ego” masing-masing. Idealisme yang salah kaprah seperti ini
tentunya akan merusak ukhkuwah dalam
Himpunan Mahasiswa Islam ini. Kalau sudah seperti ini, apakah masih layak HMI
disebut sebagai pencetak generasi muslim yang baik, dan pemimpin bangsa yang
bijak?
Menyaksikan hal-hal yang seperti ini, kita sebagai kader
perlu memperhatikan masalah independensi itu tadi. Walaupun dalam hal politis
para kader tak mungkin bersatu, karena mungkin ia mempunyai ide yang berbeda,
senior yang berbeda, gerbong yang berbeda, bahkan hobi yang berbeda, namun
setidak-tidaknya dalam tataran kaderisasi dan ukhkuwah harus tetap dijaga. Ini sangat penting agar kekompakkan
dalam tataran kaderisasi terjaga, dan tidak ada saling membenci, saling
menghujat, apalagi saling memfitnah dalam himpunan ini.
Perbedaan daerah, pemikiran, senior, bahkan hobi
seharusnya menjadi sendi organisasi. Walaupun sendi itu sering terjadi gesekan
antar tulang, namun justru itulah fungsinya sendi, agar tulang-tulang itu dapat
bergerak, tetapi tidak menghancurkan tulang-tulang itu sendiri. Wong kita berhimpun untuk saling
menutupi kekurangan, menjadi kader muslim yang kuat, demi melawan musuh abadi
kita: setan. HMI bukan sebagai wadah pemecah-belah umat Islam itu sendiri.
Bahagia HMI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar