Sering sekali kita menyaksikan pemberitaan-pemberitaan
politik dalam negeri kita yang tidak ada habisnya, terlebih lagi pemilu. Pemilu
(pemilihan umum) adalah sebuah pesta bagi negara yang menganut sistem demokrasi,
yang mana negara itu harus membayar mahal jamuannya tersebut, hanya demi satu
tujuan substantif, yaitu mencari seorang pemimpin. Jalan-jalan yang dipenuhi
spanduk, poster, pamflet, bendera parpol serasa menjadi tarian yang disuguhkan,
serta kampanye dan debat kandidat adalah musik yang mengiringinya. Berbagai
macam media, lembaga survey, dan ormas pun tak mau ketinggalan untuk meramaikan
pesta ini. Berbagai macam respon pun muncul dari masyarakatnya atas fenomena
tersebut; positif/negatif, optimis/pesimis, apatis, dll.
Begitupun
dalam lingkungan yang lebih kecil lagi, kampus misalnya. Tentu belum asing bagi
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mendengar pemilu BEM/SEMA mulai
tingkat jurusan/prodi, fakultas, maupun universitas, yang dalam
ketidakjelasannya itu menyimpan kejelasan khasnya sendiri. Terlepas dari
isu-isu/fakta-fakta yang muncul –baik pada awal, pertengahan maupun akhirnya,
baik kebaikan maupun keburukan- pemilu ini pun juga pada dasarnya mempunyai
tujuan yang sama sebagaimana tertulis pada alinea pertama, yaitu mencari
seorang pemimpin.
Di
kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak
ukur, dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam
suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat,
dianggap mencerminkan partisipasi dan kebebasan masyarakat. Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilu tidak
merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran
beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti
partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.
Sejak
kemerdekaan hingga tahun 2009, Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali
pemilu yaitu 1945, 1955, 1971, 1977, 1982, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009.
Pemilu pada tahun 1955 dianggap pemilu yang dianggap istimewa karena ditengah
suasana kemerdekaan yang masih tidak stabil, Indonesia melakukan pemilu. Bahkan
dunia internasional memuji pemilu pada tahun tersebut. Pemilihan umum
berlangsung dengan terbuka, jujur dan fair, meski belum ada sarana komunikasi
secanggih pada saat ini ataupun jaringan kerja KPU.
Pemilihan
umum merupakan proses politik yang secara konstitusional bersifat nyata bagi
negara demokrasi. Sebagai sistem, demokrasi nyata-nyatanya telah teruji dan
diakui paling realistik dan rasional untuk mewujudkan tatanan sosial, politik,
ekonomi yang populalis, adil dan beradab, kendati bukan tanpa kelemahan. Begitu
tak terbantahkannya tesis-tesis demokrasi, sehingga hampir semua penguasa
otoriter dan tiran menyebut sistem yang digunakannya sebagai sistem yang demokratis.
Sistem
demokrasi sebagaimana yang dipakai dalam pemilu, merupakan turunan dari
liberalisme dalam bidang politik. Liberalisme atau liberalism sebagaimana
umumnya diketahui adalah sebuah ideologi/pandangan filsafat yang didasarkan
pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai yang
utama/fundamental. Sulit memang mendefinisikan liberalisme secara utuh, namun secara
umum liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, yang dicirikan
oleh kebebasan berpikir, berpendapat, dan berkarya bagi tiap individu. Titik
tekannya adalah kebebasan per individual.
Liberalisme
hanya akan tumbuh dalam lingkungan yang demokratis. Dan demokrasi berarti
menyamakan hak setiap individu untuk berpartisipasi dalam perpolitikan suatu
pemerintahan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan, bahwa demokrasi merupakan cara
melaksanakan cita-cita liberalisme dalam bidang politik. Jadi bagaimana suatu
pemerintahan menjaminkan kebebasan tiap-tiap individu untuk berpolitik, itulah
demokrasi. Istilah demokrasi seperti ini sering diistilahkan dengan demokrasi
liberal. Setiap individu mau siapapun dan bagaimanapun dia mempunyai hak
politik yang sama. Oleh karena itu dalam suatu masyarakat yang menganut paham
demokrasi, suara mayoritas lah yang menang.
Tentunya
dalam suatu masyarakat, tiap-tiap individunya mempunyai kapasitas yang tidak
sama, baik kapasitasnya dalam hal kecerdasan, kepekaan, maupun kekayaannya.
Kapasitas inilah yang nantinya akan menentukan apakah seseorang berpengaruh
dalam suatu masyarakat atau tidak. Begitupun dalam hal ide, gagasan, dan
aspirasi/keinginan per individu pun pasti berbeda. Nah untuk menampung
kekuatan-kekuatan, serta aspirasi/ide-ide tersebut, biasanya dalam
negara-negara demokrasi, ditampung dalam suatu kelompok yang biasa disebut
partai. Partai-partai inilah yang akan memegang dan memainkan perpolitikan
suatu negara.
Kembali
ke pemilu, dimana voting adalah mutlak. Dalam kemutlakannya tersebut terkandung
suara mayoritas, dan mayoritas itupun mayoritas yang hadir di pemilu. Pemilu
dengan segala aturan normatif yang berlaku, masih menyimpan tanda tanya besar.
Pertanyaan ini adalah pertanyaan substansial dari induk demokrasi itu sendiri,
yaitu liberalisme. Liberalisme yang mencita-citakan kebebasan individu, apakah
benar-benar akan membebaskan individu-individu itu? Dan jikalau memang iya,
maka apakah berpantas dengan pemilu?
Dalam
buku Etika Dasar karya Frans Magnis Suseno, menjelaskan sedikit banyak masalah
kebebasan. Kebebasan merupakan nilai-nilai hakiki/substansial manusia. Dengan
kebebasan manusia bebas menentukan pilihan tanpa terikat instingnya sendiri. Dalam
hal insting berbuat baik pun manusia dapat memilih, mau melakukannya atau
tidak. kebebasan menurutnya dibagi tiga, yaitu kebebasan fisik, psikis, dan
sosial. Manusia bebas menggerakkan anggota tubuhnya, itulah kebebasan fisik.
Manusia bebas berpikir akan suatu hal, itulah kebebasan psikis. Dan manusia
bebas berhubungan sosial, itulah kebebasan sosial. Kebebasan fisik dan psikis
lebih kepada kebebasan “dari”, dan kebebasan sosial lebih kepada kebebasan
“untuk”.
Lantas
kemudian kebebasan individu ini perlu dibatasi jika berhubungan dengan individu
lainnya (masyarakat) agar tercipta keharmonisan dan saling melengkapi.
Pembatasan-pembatasan ini bukanlah suatu pemaksaan, karena pemaksaan akan
menghapuskan martabat manusia yang mampu memilih apa yang akan dilakukannya.
Pembatasan-pembatasan ini harus bersifat normatif, yang pengejawantahannya
melalui pembagian hak dan kewajiban seorang individu kepada masyarakatnya, dan
ini dituangkan dalam hukum yang didalamnya memuat aturan main, dan itu semua
harus disepakati bersama. Artinya pembatasan yang dilakukan masyarakat -dalam
hal ini pemerintah- harus rasional agar seorang individu mengetahui mengapa ia
harus dibatasi oleh peraturan itu, dan terlebih lagi ia mau menaatinya karena
ia menganggap peraturan itu adil.
Sistem
demokrasi mengatur bagaimana individu menjalankan haknya sebagai warga negara.
Dalam demokrasi setiap individu mempunyai suara/hak yang sama dalam menentukan
arah melangkah suatu masyarakat tersebut. Secara normatif, sebagaimanapun
hebatnya seseorang itu tetap mempunyai suara/hak yang sama dengan orang yang
sebagaimanapun bodohnya. Lantas pada akhirnya orang yang mempunyai kapasitas
lebih itu akan menggunakan kapasitasnya tersebut untuk mempengaruhi individu
lainnya (mayoritas), meskipun harus membuang moralnya, karena memang urusan
moral dalam demokrasi menjadi urusan individu tersebut selama tidak merugikan.
Maka tak heran jika propaganda, berbagai macam agitasi, dan politik uang (money
politic) menjadi hal yang lumrah dalam demokrasi, lebih khususnya pada
masa-masa pemilu.
Lalu
bagaimana kebebasan individu itu dihargai jika sistem yang berlaku (demokrasi)
masih membuka kesempatan untuk itu (Propaganda, Agitasi, Money Politici). Karena hal itu akan mengintervensi
keinginan/kebebasan si pemilih untuk memilih sesuai nuraninya. Jika sudah ada
intervensi kepada individu, maka cita-cita liberalisme itupun akan bermakna
kosong, blunder bahkan.
Lantas
apakah memperketat pengawasan adalah jawaban? Menurut saya tidak, karena
pengawasannya pun masih bersifat normatif. Karena pada dasarnya pembatasan
kebebasan secara normatif masih membuka kesempatan untuk melanggarnya.
Contohnya jika kita mempunyai kamar dan tidak ingin kemalingan, maka kita harus
menguncinya. Karena hal tersebut akan membatasi fisik si maling untuk memasuki
kamar tersebut. Berbeda halnya jika kita hanya memasang kalimat “Dilarang
Masuk!”, maka hal tersebut masih dapat dilanggar bahkan “menantang” si maling.
Dari
sekian banyak proposisi yang dibangun diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa demokrasi
dan pemilu adalah suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, karena pemilu
adalah barometer demokrasi di dalam suatu masyarakat. Demokrasi adalah bentuk,
pemilu adalah materinya. Pemilu adalah prasyarat demokrasi. Disamping menjadi
prasyarat demokrasi, pemilu juga menjadi pintu masuk atau tahap awal dari
proses perkembangan demokratis.
Perjalanan
panjang Indonesia dalam menyelenggarakan
pemilu sejak tahun 1955 memberi pelajaran berharga untuk menata
kehidupan bangsa kedepan menuju kehidupan yang lebih baik. Bangsa Indonesia
mempunyai komitmen yang kuat untuk menyelenggarakan pemilu 2004 dengan format
berbeda dengan sebelumnya, sehingga azas langsung umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil dapat dilaksanakan secara benar, konsekuen dan dapat
dipertanggungjawabkan baik secara hukum, moral, maupun politis. Dan cita-cita
liberalisme tidak dapat terwujud secara kaffah
hanya dengan pemilu. Maka kita harus mencari metode yang paling pas, terutama
untuk konteks masyarakat kita sendiri.
massa sich. . . .?
BalasHapus