@ikhsanyaqub
Kampungan
adalah istilah yang mungkin paling tepat saat ini buat anak kecil negeri
ini yang tak kenal dengan Doraemon, One Piece, Naruto, atau berbagai karakter komik
Jepang lainnya. Istilah ini juga cocok buat anak-anak muda perkotaan yang tidak
pernah nongkrong di Seven Eleven, yang
tidak pernah menonton drama Korea, atau yang masih hangat terdengar yaitu joget gangnam style, harlem shake, dll.
Belum lagi produk-produk game virtual -Winning Eleven, GTA, Stronghold
Crushader, Zynga Poker, dll- dan berbagai macam produk hand phone, Tab, Android, dengan segala aplikasi serta paket-paket
yang disediakan, yang seolah-olah telah menjadi budaya kita, “diri” kita.
Gejala
neo-kapitalisme saat ini menciptakan berbagai kebutuhan-kebutuhan baru dalam masyarakat
yang sebenarnya tidak memiliki esensi yang sedemikian mendalam dalam kehidupan.
Contohnya, dahulu, menonton sepak bola bukanlah suatu kebutuhan pokok, namun
gejala budaya yang berkembang saat ini menempatkan sepak bola sebagai suatu
kebutuhan primer bagi manusia. Ini yang disebut-sebut sebagai “penipuan massa”
(mass deception), yang jika ditelisik lebih mendalam berujung pada
industri kebudayaan (culture industry). Budaya saat ini bukan lagi faktor
penentu proses produksi, namun budaya dapat diciptakan dalam proses produksi,
bahkan hasil produksi itu sendiri.
Ada
gejala baru pola perindustrian pada masa sekarang. Jika sebelum abad ke-13 M segala
proses produksi berpola “form follows meaning”, artinya bentuk
hasil produksi mengikuti makna dari produk tersebut. Contohnya kursi dibuat
untuk duduk. Namun dengan berkembangnya perindustrian terjadi gejala baru,
yakni “form follows function”, artinya segala bentuk hasil produksi
dibuat berdasarkan fungsinya, contohnya kursi dibuat dengan beberapa fungsi
khusus; kursi santai, kursi untuk bekerja, dll.
Namun
gejala budaya saat ini menampilkan pola produksi yang “form follows fun”,
contohnya kursi untuk fungsi apa pun harus dapat menyenangkan si
pemakai/konsumen. Lebih lanjut, terjadilah bentuk-bentuk industri yang
menawarkan kesenangan bagi pemakai, terjadilah industri pola baru yang tidak
hanya menawarkan barang produksi, namun barang produksi dengan intensitas fun
yang ditawarkannya (ecstasy). Pada kondisi ini, ideologi memiliki
kecenderungan berubah menjadi “imagologi”, yakni penciptaan realitas-realitas baru
dalam kehidupan. Lihat saja berbagai bentuk aplikasi virtual-reality yang
ada sekarang, melalui game-game komputer, film-film, dan berbagai efek-efek
multimedia, dan sibernetika lainnya.
Di
saat bangsa kita masih terseok-seok dengan berbagai pergolakan budaya transformasi
dari masyarakat feodal ke masyarakat demokratis, dari masyarakat agrikultural
ke masyarakat industri, bertiup pula badai konsumerisme di tengah-tengahnya,
dan lagi-lagi ini sangat mendukung pola penjajahan tahap ketiga : Imperialisme
Kebudayaan, la culturische nation. Dengan dalih pembudayaan, dan
penyerahan segala sesuatu kepada mekanisme pasar (pasar bebas), ia ternyata
melakukan penghisapan dengan investasi berbagai nilai budaya, yang kita sendiri
belum tentu siap menerimanya. Kecenderungan materialisme dan konsumerisme
sangat tinggi, sementara pemikiran tentang esensi dan dialektika atas esensi-eksistensi
yang ada, rendah sekali.
Dari
sini kemudian lahirlah “generasi-generasi
bisu” di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Lahirlah
generasi yang hanya tahu mengikuti flow mode dan kecenderungan umum yang
ada. Timbullah generasi joget Korea,
generasi Naruto, generasi halamadrid,
generasi Crusaders, dll. Olahraga sepakbola pun tidak hanya sekadar olahraga,
melainkan terkomodifikasi menjadi suatu bentuk entertainment (hiburan)
yang menawarkan merk-merk klub-klub sepakbola.
Imagologi
menjadi semacam ideologi dan membentuk realitas-realitas baru dalam pola pikir
generasi saat ini. Imagologi di sini berdasarkan pengertian: suatu bentuk
audio-visualisasi suatu realitas semu, dalam hal ini apa-apa yang ditawarkan
oleh segala perangkat audio-visual yang ada saat ini, melalui media massa televisi,
radio, dan sebagainya. Maka Siapa yang memiliki media massa, dialah yang
mengendalikan, atau paling tidak mempengaruhi proses propaganda mass deception industri kebudayaan itu
tadi.
Ini
semuanya akan menjadi ecstasy yang menyunat segala bentuk kreativitas
swa-produksi generasi muda negara dunia ketiga. Imagologi melumpuhkan
mentalitas dan identitas (dalam pengertian kepribadian) dari generasi muda negara
dunia ketiga, bahkan lebih jauh lagi, melunturkan semangat nasionalisme membangun
negeri.
Akibatnya
terjadi gelombang liberalisasi individu seluas-luasnya yang memompa arus hedonisme,
yang mengajarkan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan
tindakan manusia. Meskipun benar bahwa kenikmatan hidup adalah tujuan, namun yang
sangat disayangkan muncul lah kecenderungan dari tiap individu untuk ber-ecstasy,
autis, asyik sendiri, tanpa
peduli dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Seolah-olah pada zaman ini, dua
orang yang hendak ngobrol dengan
jarak hanya beberapa meter pun, lebih baik chatting-an
daripada menemuinya langsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar