A.
Pendahuluan
Peradaban barat modern merupakan
perdaban yang secara materi telah berhasil membawa umat manusia ketingkat
kemajuan dan keberhasilan secara materi. Peradaban modern telah berhasil
membuktikan eksistensi manusia sebagai makhluk lebih unggul ketimbang makhluk
manapun di bumi ini. Namun, berbagai kemajuan tersebut yang dicapai ternyata
tidak cukup untuk lebih memposisikan manusia sebagai manusia. Manusia malahan
seperti kehilangan identitas kemanusiaanya dan kini nilai manusia sudah dalam
posisi yang sudah sangat “menyedihkan” karena kini manusia bisa diatur oleh
seperangkat peralatan mekanik yang diciptakannya sendiri.
Peradaban modern juga semakin
menggelapkan hati manusia dan semakin menempatkan posisi manusia dalam kemajuan
yang semu belaka. Apa yang telah menjadi keberhasilan manusia modern tidak
lantas kemudian semakin mendekatkan manusia pada Tuhan yang secara hakikat ada
dibelakang segala keberhasilan umat manusia, kemajuan peradaban modern justru
telah menggiring manusia pada kesombongan. Dan puncak dari kesombongan itu
adalah klaim bahwa manusialah yang telah menjadikan segala keberhasilan yang
selama ini dicapai, sementara Tuhan tidak memiliki andil apapun. Malahan banyak
diantara mereka yang kemudian karena kesombongan dan karena tertipu paham
rasionalisme dan materialisme berkesimpulan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang
absurd.
Keyakinan atau aqidah adalah unsur
yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun
anggota masyarakat. Ia merupakan referensi bagi suatu tindakan, dalam arti
bahwa sebelum seseorang melakukan suatu perbuatan, dia hampir selalu menimbang
dengan keyakinan yang dimilikinya. Keyakinan ini pula yang kemudian melandasi
gerak perjuangan sayyed Hossein Nasr. Keyakinannya yang kuat bahwa apa yang
menjadi landasan kemajuan bukanlah semata harus berlandaskan nilai-nilai
material, telah mendorong ia untuk banyak mengkritik peradaban barat yang ia
nilai hanya sebagai peradaban yang semu. Malahan Nasr merasa khawatir terhadap
semakin menonjolnya kecenderungan umat Islam yang lebih mengiblat terhadap
peradaban barat dan telah melupakan akar budayanya.
Makalah ini akan menghadirkan berbagai macam pemikiran sayyed Hossein Nasr tentang manusia,
terutama kritiknya terhadap fenomena manusia modern, serta solusi yang
ditawarkannya Nasr untuk menjawab tantangan tersebut.
B.
Biografi Sayyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr lahir di kota
Teheran, Iran, pada tanggal 7 April 1933. Ayahnya seorang ulama terkenal di
Iran dan juga seorang guru dan dokter pada masa dinasti Qajar bernama Seyyed
Valiullah Nasr.[1]
Sebutan dengan gelar Seyyed adalah sebutan kebangsawanaan yang dianugerahkan
oleh raja Syah Reza Pahlevi kepada keduanya.
Latar belakang keagamaan keluarga
Nasr adalah penganut aliran Syi‟ah tradisional[2]
yang memang menjadi aliran teologi Islam yang banyak dianut oleh penduduk Iran.
Dominasi paham Syi‟ah di Iran bertahan sampai sekarang, walaupun telah terjadi
revolusi di sana. Hal ini disebabkan karena paham Syi‟ah telah lama hidup di
sana yang didukung oleh banyak ulama terkenal dan berpengaruh.
Sebelum pindah ke Amerika untuk
belajar formal ilmu modern pada umur 13 tahun, Nasr memperoleh pendidikan
tradisional di Iran. Pendidikan tradisional ini diperoleh secara informal dan
formal. Pendidikan informalnya dia dapat dari keluarganya, terutama dari
ayahnya. Sedangkan pendidikan tradisional formalnya diperoleh di madrasah
Teheran. Selain itu oleh ayahnya dia juga dikirim untuk belajar di lembaga atau
madrasah pendidikan di Qum yang diasuh Allamah Thabathaba‟i untuk belajar
filsafat, teologi dan tasawuf. Ia juga diberi pelajaran tentang hafalan
al-Quran dan pendidikan tentang seni Persia klasik.[3]
Obsesi Valiullah Nasr agar Hossein
Nasr menjadi orang yang memperjuangkan kaum tradisional dan nilai-nilai
ketimuran dimulai dengan memasukkkan Hossein Nasr ke Peddie School di
Hightstown, New Jersey lulus pada tahun 1950. Kemudian melanjutkan ke Massacheusetts
Institute of Technology (MIT). Di institusi pendidikan ini Nasr memperoleh
pendidikan tentang ilmu-ilmu fisika dan matematika teoritis di bawah bimbingan
Bertrand Russel yang dikenal sebagai seorang filosof modern. Nasr banyak
memperoleh pengetahuan tentang filsafat modern.
Selain bertemu dengan Bertrand
Russel, Nasr juga bertemu dengan seorang ahli metafisika bernama Geogio De
Santillana. Dari kedua ini Nasr banyak mendapat informasi dan pengetahuan
tentang filsafat Timur, Khususnya yang berhubungan dengan metafisika.[4]
Dia diperkenalkan dengan tradisi keberagamaan di Timur, misalnya tentang
Hinduisme. Selain itu Nasr juga diperkenalkan dengan pemikiran-pemikiran para
peneliti Timur, diantaranya yang sangat berpengaruh adalah pemikiran Frithjof
Schuon tentang perenialisme. Selain itu juga berkenalan dengan pemikiran Rene
Guenon, A. K. Coomaraswamy, Titus Burchardt, Luis Massignon dan Martin Lings.
Pada tahun 1956 Nasr berhasil meraih
gelar Master di MIT dalam bidang geologi yang fokus pada geofisika.[5]
Belum puas dengan hasil karyanya, beliau merencanakan untuk menulis desertasi
tentang sejarah ilmu pengetahuan dengan melanjutkan studinya di Harvard
University. Dalam menyusun disertasinya Nasr dibimbing oleh George Sarton. Akan
tetapi sebelum disertasi ini selesai ditulisnya, George Sarton meninggal dunia,
sehingga Nasr mendapatkan bimbingan berikutnya oleh tiga orang professor, yaitu
Bernard Cohen, Hammilton Gibb dan Harry Wolfson. Disertasi ini selesai dengan
judul “Conceptions of Nature in Islamic Thought” yang kemudian dipublikasikan
oleh Harvard University Press pada tahun 1964 dengan judul “An Introduction to
Islamic Cosmological Doctrines”. Dengan selesainya disertasi ini Nasr mendapat
gelar Philosophy of Doctor (Ph.D) dalam usia yang cukup muda yaitu 25 tahun
tepatnya pada tahun 1958.
Semasa belajar di Barat Seyyed
Hossein Nasr bertemu dengan banyak pemikir Barat yang mengkaji Islam dari
berbagai macam perspektif. Selain ia belajar tentang ilmu sain di Barat, Nasr
juga kemudian tertarik kembali mempelajari ilmu-ilmu metafisika, khususnya
metafisika Timur yang banyak ia dapatkan di perpustakaan-perpustakaan Barat.
Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan ini tidak lepas dari latar belakang kehidupannya
sebagai seorang Iran yang kental dengan budaya mistik kesufian dan didukung
oleh pengetahuan mistis dari ajaran Syi’ah.
Pemikiran yang sangat mempengaruhi
Nasr adalah pandangan filsafat perennial.[6]
Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon
seorang perenialis sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan esoterik
Islam.[7]
Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and Perennial Philoshopy.
Sehingga Nasr memberikan gelar padanya sebagai My Master. Salah satu tokoh yang
juga banyak mempengaruhi Nasr adalah Rene Guenon.[8]
Rene Guenon merupakan salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi orientasi
tradisionalisme Nasr, khususnya peletak pandangan metafisis hermetisme, sebagai
bagian yang penting dalam kerangka besar pemikiran perennial.
Seyyed Hossein Nasr kembali ke Iran
tahun 1958 setelah menyelesaikan program doktornya di Harvard University.
Sekembalinya ke Iran ia segera bergabung dengan kegiatan-kegiatan akademis di
sana. Kedalaman ilmunya memberikan satu tempat khusus baginya sebagai seorang
tokoh baru di Iran. Nasr aktif dalam kegiatan akademis dan keagamaan, seperti
keterlibatannya dalam diskusi-diskusi dengan para tokoh Syi‟ah di sana semisal
Allamah Thabathaba‟i, Muhammad Kazim „Assar dan Abu Hasana Rafi‟i Wazwini.[9]
Nasr lebih berkiprah di dunia
akademis diawal-awalnya. Ia banyak mempengaruhi filsafat Islam modern di Iran
melalui karya-karyanya, dengan mensponsori berbagai konferensi dan mendirikan
pusat kajian filsafat Islam pada tahun 1960-an sampai 1970-an. Dalam catatan
Aminrazavi Nasr telah mempelopori berdirinya Imperial Iranian Academy of Philosophy, dengan kontribusinya telah
menerbitkan jurnal ilmiah yang bertajuk Javidan
Khirad (Sophia Perennis) dan juga telah banyak mempublikasikan teks-teks
tradisional dengan jumlah besar.
C.
Kritik Sayyed Hossein Nasr terhadap Peradaban Modern
Hampir tidak ada lagi pokok
perdebatan yang memancing gejolak rasa dan perdebatan dikalangan umat Islam
dewasa ini selain relasi antara pemikiran Islam dengan dunia barat. Disadari
atau tidak peradaban barat telah menggerogoti konstruk pemikiran Islam sehingga
barangkali sudah lebih dari dua abad umat Islam hidup dalam bayang-bayang
peradaban barat, banyak pihak yang merasa khawatir akan tercerabutnya
nilai-nilai Islam itu sendiri dari pemeluknya.
Peradaban barat telah menimbulkan
multi krisis, baik krisis moral, spiritual, dan krisis kebudayaan yang
dimungkinkan lebih disebabkan corak peradaban modern industrial yang dipercepat
oleh globalisasi yang merupakan rangkaian dari kemajuan barat pasca renaisans
yang membawa nilai-nilai antroposentrisme dan humanisme sekuler. Paham yang
serba mendewakan manusia dan kehidupan dunia yang sifatnya temporal. Hal ini
secara faktual telah melahirkan tercerabutnya kebermaknaan dalam hidup manusia,
akibat hilangnya nilai-nilai transendental agama dari kehidupan manusia. Pada
antroposentrisme dan humanisme sekuler yang mendewakan kedigdayaan manusia, dan
relatifitas itu akhirnya telah melahirkan krisis kemanusiaan yang sudah semakin
mengkhawatirkan dalam kehidupan peradaban manusia sedunia. Manusia yang
sebelumnya diposisikan sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna dan paling
tinggi derajatnya menjadi subordinasi dalam tekno- struktur, menjadi bagian
dari benda-benda (hasil teknologi) yang diciptakannya sendiri, sehingga manusia
teralienasi dari identitasnya sebagai makhluk Tuhan yang merdeka dan memiliki
fitrah hati nurani.
Satu hal hal yang dianggap sebagai
kegagalan peradaban modern yang paling fatal ialah percobaan manusia untuk
hidup dan menapikan keberadaan Tuhan dan agama. Suatu hal yang tentu sangat
bertentangan dengan fitrah manusia yang dalam hatinya memiliki potensi
ilahiyah, dan pasti akan selalu membutuhkan sesuatu yang bersifat transenden
yaitu Tuhan. Seperti ungkapan Peter L Berger “Nilai-nilai supernatural telah
hilang dari peradaban barat modern”. Lenyapnya nilai nilai tersebut dapat
diungkapkan dalam suatu rumusan yang agak dramatis sebagai ‘Tuhan telah mati”. Inilah
lanjutan dari sekularisasi kesadaran. Dengan hilangnya batasan-batasan yang
dianggap dan diyakini sebagai sakral dan absolut, manusia modern lalu
melingkar-lingkar dalam dunia yang serba relatif, terutama sistem nilai dan
moralitas yang dibangunnya.
Proses sekularisasi melangkah lebih
jauh pada abad ke-19 bahkan memasuki wilayah Teologi, yang sampai saat itu
masih secara alamiah bersatu dengan kerangka agama, dan kemudian jatuh dibawah
kekuasaan sekularisme. Pada wakti itu ideologi agnostik dan ateistik mulai
mengancam teologi itu sendiri sementara persfektif teologi tradisional mulai
mundur dari satu wilayah yang seharusnya didudukinya. Yakni wilayah pemikiran
agama yang murni. Disini penting disebutkan bahwa teologi yang dipahami dalam
konteks barat adalah hal yang utama bagi Kristen, berbeda dengan Islam yang
menempatkan teologi tidak sepenting hukum Islam. Dalam Kristen, semua pemikiran
yang serius berkaitan dengan teologi dan karenanya kemunduran teologi Kristen
pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dari berbagai wilayah
pemikiran juga berarti kemunduran agama di barat dari kehidupan sehari-hari dan
pemikiran manusia barat. Kecenderungan ini mencapai tingkat seperti itu pada
abad ke-20 ketika sebagian besar teologi itu, secara berangsur-angsur mengalami
proses sekularisasi.[10]
Manusia tentu saja tidak bisa
mengangkat dirinya secara spiritual dengan begitu saja. Ia harus dibangunkan
dari mimpi buruknya oleh seseorang yang telah sadar. Karena itu manusia
memerlukan petunjuk Tuhan dan harus mengikuti petunjuk itu, agar dia dapat
menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya dan agar ia mampu mengatasi
rintangan dalam menggunakan akalnya. Nasr berkeyakinan bahwa akal dapat
mendekatkan manusia kepada Tuhan apabila akal itu sehat dan utuh (salim), dan
hanya petunjuk Tuhan yang menjadi bukti yang paling meyakinkan dari
pengetahuan-Nya yang dapat menjamin keutuhan dan kesehatan akal, sehingga akal
dapat berfungsi dengan baik dan tidak terbutakan oleh nafsu keduniawian. Setiap
orang membutuhkan petunjuk Tuhan dan nabi yang membawa petunjuk itu, kecuali ia
sendiri terpilih, atau menjadi orang suci yang merupakan pengecualian.[11]
Sebagai manusia yang telah dibimbing
oleh agama, kita tidak seharusnya mencontoh apa yang menjadi sisi negatif dari
medernisasi di dunia barat, meskipun peranan modern itu lahir dari sebuah
keunggulan metodologi sains. Yang harus kita lakukan sekarang adalah
mengusahakan agar bagaimana iman, ilmu, dan teknologi senantiasa selalu
berjalan beriringan. Yang menjadi tugas kita sekarang adalah bagaimana agar
kita dapat mengangkat kembali dan mengembalikan posisi kemanusiaan dalam tempat
semula yang lebih baik. Seperti yang telah dikatakan Yusuf Qardhawi, manusia
barat telah membuka tabir pengetahuan yang cukuyp banyak. Tetapi mereka tidak
mampu menguak misteri dibalik wujudnya. Mereka telah mengetahui pengetahuan
fisik, tetapi tidak dapat menundukan nafsunya. Mereka telah mendapatkan nuklir,
tetapi gagal mendapatkan ideologi dan spiritnya. Sangat indah apa yang telah
dikatakan filosof India ditunjukan kepada salah seorang pemikir Barat, “Sudah
cukup baik, kalian terbang tinggi di udara bagai burug. Kalian telah menyelam
ke dasar laut seperti ikan. Namun kalian sama sekali tidak berjalan baik di
muka bumi ini seperti layaknya manusia.[12]
Mungkin inilah yang bisa kita sebut sebagai krisis identitas. Peradaban barat
yang maju dari segi materi, ternyata telah gagal memahami manusia sebagai
makhluk yang multi dimensia. Manusia bukan hanya sebatas makhluk yang
mengandalkan kemampuan indera dan akal, tetapi lebih dari itu ia adalah makhluk
Tuhan yang mengemban amanat dari Tuhannya untuk menjadi pemimpin dan pengelola
segala potensi yang ada di dunia ini, untuk kemudian dipertanggungjawabkan
dihadapan Tuhan.
Manusia modern harus kembali
diingatkan dan diarahkan kepada kesucian, Tuhan yang merupakan asal dan
sekaligus pusat dari segala sesuatu dan kepadanyalah manusia kembali. Tentulah
sudah meruypakan suatu konsekuensi apabila manusia harus mengabdi pada Tuhan.
Pemisahan manusia dari kesempurnaan aslinya dan seluruh nilai-nilai ambivalen
yang dimilikinya tentu hanya akan menggiring manusia pada apa yang dikatakan
Kristen “kejatuhan”, tidak ada fungsi kekuatan-kekuatan ini yang semestinya dan
secara otomatis menurut sifat teomorfis manusia. Manusia berada dalam belenggu
kebebasan yang semu, sifat ketuhanan (theomorfis) yang seharusnya ada pada
peradaban modern maupun renaisans. Kepada manusia-manusia yang seperti inilah
tradisi agama seharusnya disampaikan dan manusia-manusia batiniah inilah yang
hendak dibebaskan treadisi dari belenggu ego dan keadaan yang mencekikm karena
sebuah aspeknya dilupakan dan dianggap sama sekali eksternal. Hanya tradisi
yang dapat membebaskan mereka, bukan agama-agama palsu yang pada saat ini
sedang bermunculan.[13]
Sebagian orang Barat sebenarnya
telah menyadari bahwa ada penyakit dalam peradaban mereka yang padahal sudah
sangat modern. Mereka melihat bahwa peradabannya telah menghanguskan fitrah
manusia, menghadang ketentraman jiwa, dan meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan.
Diantara mereka adalah Bernard Shaw lewat dramanya, Spengler, lewat bukunya
Runtuhnya barat, Toynbee, lewat buku-buku sejarahnya, Alexis Carell dengan
bukunya yang terkenal Al- Insaan dzaalikal Majhuul (Unknown Man/ Misteri
Manusia), dan yang lain. Hanya saja mereka merupakan pribadi yang sebelumnya
telah banyak diracuni penyakit, dan setelah itu mereka tidak tahu untuk
mengobatinya.[14]
Obat itu sebenarnya ada pada kita,
bukan orang diluar kita. Obat itu ada pada peradaban kita uyang Illahiyah.,
Insaniyah, dan Universal. Suatu peradaban haq, bajik, seimbang serta adil.
Peradaban yang mendudukan segalanya pada porsi yang sebenarnya. Tidak
menyimpang dari posisinya. Suatu tata peradaban yang memadukan mesjid dan
pabrik, memadukan agama dan ilmu, akal dan hati, materi dan ruh, serta
menyelaraskan hubungan waktu kemarin hari ini dan esok, idealisme dan realisme.
D.
Gagasan Islam Tradisional (Tradisionalisme)
Sebelum kita membahas lebih mendalam
bahasan ini, alangkah baiknya apabila kita terlebih dahulu mengetahui apa arti
dari tradisi. Tradisi bisa berarti ad-din dalam pengertian yang seluas-luasnya,
yang mencakup semua aspek agama dan percabangannya; bisa pula disebut
as-sunnah, yaitu apa yang sudah menjadi tradisi sebagaimana kata ini umumnya
dipahami; bisa juga diartikan al-silsilah, yaitu rantai yang mengkaitkan setiap
periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada
sumber, seperti tampak gamblang dalam sufisme. Karenanya tradisi mirip sebuah
pohon, akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat illahi dan darinya
tumbuh batang dan cabang-cabang sepanjang zaman. Dijantung pohon tradisi itu
berdiam agama, dan saripatinya terdiri dari barakah yang karena bersumber dari
wahyu, memungkinkan pohon tersebut terus hidup. Tradisi menyiratkan kebenaran
yang kudus, yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta
penerapan bersinambung prinsip-prinsip yang langgeng terhadap berbagai situasi
ruang dan waktu.[15]
Islam tradisional memandang manusia
bukan sebagai makhluk yang terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata
sebagaimana yang dipahami pada zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang
suci, yang tak lain adalah manusia tradisional. Manusia suci, menurut nasr,
hidup di dunia yang mempunyai asal maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran
penuh sejak asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk
menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.[16]
Sejauh doktrin tradisional tentang
manusia diperhatikan, hal itu didasarkan pada konsep manusia primordial sebagai
sumber kemanusiaan, refleksi total dan lengkap mengenai Illahi dan realitas
pola dasar yang mengandung posibilitas-posibilitas eksistensi kosmik itu
sendiri. Signifikasi Islam tradisional dapat pula dipahami dalam sinaran
sikapnya terhadap fase Islam. Islam Tradisional menerima Qur‟an sebagai kalam
Tuhan baik kandungan maupun bentuknya: sebagai persoalan duniawi abadi kalam
Tuhan, yang tak-tercipta dan tanpa asal-usul temporal. Islam tradisional juga
menerima komentar-komentar tradisional atas Qur‟an yang berkisar dari
komentar-komentar yang linguistik dan historikal hingga yang sapiental dan
metafisikal.[17]
Sifat primordial dan paripurna
tentang manusia yang Islam menyebutnya “Manusia sempurna”(insan kamil), dan
doktrin-doktrin sapiensial kuno Gracco-Aleksandrian juga menyinggung dalam
istilah yang hampir sama, kecuali aspek-aspek Abrahamik dan Islamik yang secara
khusus tidak muncul dalam sumber-sumber Neo-platonik dan hermetik, yang
menyatakan bahwa realitas manusiawi mempunyai tiga aspek fundamental. Pertama
adalah dari realitas pola dasar alam semesta, kedua instrumen atas makna dimana
wahyu turun ke dunia, dan ketiga, model sempurna untuk kehidupan spiritual dan
pemancar pengetahuan esoterik mutakhir. Dengan kebajikan realitas manusia
universal, manusia terestrial dapat memperoleh akses pewahyuan dan tradisi,
sehingga tersucikan. Akhirnya, melalui realitas yang tak lain daripada
aktualisasi realitas manusia itu sendiri, manusia mampu mengikuti jalan
sempurna yang akhirnya memungkinkan memperoleh pengetahuan suci, dan akhirnya
menjadi dirinya sendiri secara sempurna.[18]
Mengenai metafisika, Nasr
berpendapat bahwa metafisika merupakan pengetahuan yang real. Ia menjelaskan
asal-usul dan tujuan semua realitas, tentang yang absolut dan relatif . oleh
karena itu, Nasr mengusulkan jika manusia ingin tinggal di dunia lebih lama,
prisip-prinsip metafisika harus dihidupkan kembali.[19]
E.
Gagasan Pembaruan ke Arah Islam Tradisi
Keyakinan atau aqidah
adalah unsur yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, baik sebagai
individu maupun anggota masyarakat. Ia merupakan referensi bagi suatu tindakan,
dalam arti bahwa sebelum seseorang melakukan suatu perbuatan, dia selalu
menimbangnya dengan keyakinan yang dimilikinya. Sebelum bertindak, seseorang
yang memiliki keyakinan agama, misalnya, pasti terlebih dahulu menilai apakah
perbuatan yang akan dilakukannya sesuai dengan keyakinan agamanya atau kah
tidak. Jika sesuai, ia akan melakukannya dengan sebaik-baiknya, sebab dia yakin
bahwa perbuatannya bahwa perbuatannyatidak hanya memiliki dampak bagi kehidupan
masa kininya, tetapi juga pada kehidupan akhiratnya kelak. Akan tetapi, jika
perbuatan itu bertentangan dengsn keyakinannya, maka kemungkinan besar dia
tidak akan melakukannya. Kalau pun karena satu dan lain alasan kemudian dia
melakukannya juga, dia pasti akan merasa bersalah dan berdosa.[20]
Barangkali semua dorongan itulah yang menyebabkan timbulnya dorongan yang kuat
bagi Nasr untuk tetap menggelorakan pembaharuan (tajdid) kearah bangkitnya kembali
Islam Tradisional yang diyakininya merupakan solusi terbaik bagi umat Islam
untuk mengangkat kembali Islam yang telah “terinjak” dibawah peradaban modern
barat.
Menurut Yusuf Qardhowi
tajdid diartikan “pembaruan, modernisasi” yakni upaya mengembalikan pemahaman
agama kepada kondisi semula sebagaimana masa nabi. Ini bukan berarti hukum
agama harus persis seperti yang terjadi pada waktu itu, melainkan melahirkan
keputusan hukum untuk masa sekarang sejalan dengan maksud syar’i dengan
membersihkan dari unsur-unsur bid’ah, khurafat dan pikiran-pikiran asing.[21]
lebih lanjut Yusuf Qardhowi mengatakan bahwa kita harus mengembalikan kemurnian
Islam menuju aqidah, kemurnian tauhid, menuju ibadah, kemurnian misi menuju
akhlak dan moralitas Islami dan semangat keIslaman.[22]
Semangat pembaharuan
(tajdid) ini merupakan cita-cita Nasr untuk mengembalikan Islam pada
kedudukannya semula yang sekarang ini sudah banyak terkontaminasi modernisasi
barat yang sekuler, dan meninggalkan nilai-nilai Illahiah dan insaniah. Nasr kemudian
mengindentikan tajdidd dengan renaisans yang menurut pengertian yang
sebenarnya. Suatu renaisanas dalam Islam berkaitan dengan tajdid, atau
pembaruan, yang dalam konteks tradisional diidentikan dengan fungsi dari tokoh
pembaruan (mujaddid)[23]
tersebut. Tetapi seorang mujaddid selalu merupakan perwujudan dari
prinsip-prisip Islam yang hendak ditegakan dan diterapkan kembali di dalam
situasi tertentu. Jadi, seorang mujaddid berbeda dengan seorang “tokoh
reformasi” menurut pengertian modernnya yang disebut muslih. Bahkan seorang
mujaddid berbeda sekali dengan seorang tokoh reformasi karena ia bersedia
mengorbankan sebuah aspek tradisi agama, demi faktor ketergantungan tertentu
yang paling ditonjolkan mereka sebagai mereka sebagai hal yang sangat mempesona,
karena dikatakan kondisi zaman yang tak dapat dihindari atau ditolak.[24]
Pembaruan yang dilakukan
Nasr adalah mengembalikan manusia pada asalnya sebagaimana telah dilakukan
manusia dalam perjanjian suci dengan Tuhannya, dari kealpaan tentang dirinya,
sehingga membuat dirinya jatuh kedalam belenggu karya rasionalitasnya yang
meniadakan Tuhan. Manusia menurut Nasr, pada awalnya adalah makhluk suci, namun
karena penolakannya kepada Tuhan melalui tradisi Ilmiah telah membuat dirinya
tak mengenal siapakah realitas sesungguhnya dia dihadapan Tuhannya.
Nasr berpendapat bahwa
pembaruan tidak bisa hanya dilakukan dari sisi materi saja, tetapi juga yang
paling dasar adalah melakukan perubahan dari dalam dirinya sendiri, untuk
kemudian ia melakuan pembaruan terhadap realitas yang ada disekitarnya. Dewasa
ini seorang mujaddid tidak mungkin dilakukan oleh orang yang pikirannya telah
dicuci oleh konsep-konsep modern, tetapi tidak pula bisa dilakukan oleh orang
yang mengerti seluk beluk dunia modern.
Dalam hal ini seorang
Nasr merupakan figur yang sangat relevan kita ia menggembor-gemborkan tentang
tajdid. Nasr merupakan tokoh yang memiliki wawasan yang sangat luas tentang
seluk-beluk peradaban modern dengan segala implikasi-implikasi yang bisa
ditimbulkannya. Namun demikian, keakraban Nasr dengan alam modern tidak lantas
menyebabkan ia tercerabut dari akar peradaban Islam, malah ia lebih menancapkan
lagi dimana posisi Islam seharusnya ditempatkan. Nasr telah berhasil
menciptakan batasan-batasan antara Islam dan barat, tradisi dan modernisasi,
dan dengan itu semua orang bisa memilih posisi dimana ia akan mengambil tempat.
F. Kesimpulan dan
Penutup
Pandangan Seyyed Hossein
Nasr yakni tentang manusia tradisional versus manusia modern merupakan kritik
terhadap pola pikir modernitas yang mengagungkan rasionalitas dalam segala hal.
Islam tradisional menurut pemikiran Seyyed Hossein Nasr bahwa pola pikir yang
demikian akan membawa manusia kepada keterambangan dan tidak punya tujuan
hingga menjadikan hidup manusia jauh dari kebahagian.
Islam tradisional
ditawarkan sebagai alternatif untuk menggantikan modernitas yang tidak mampu
memandang realitas kehidupan secara keseluruhan. Visi Islam tradisional lebih
utuh untuk bisa memandang realitas karena Islam tradisional memandang realitas
dalam bingkai yang lebih besar yang terhubungan dengan keilahian.
Tradisi ibarat pohon
yang akarnya terbenam dalam hakekat ilahi dan dari pohon itulah tumbuh batang
dan rantingnya yang tumbuh sepanjang masa. Tradisi yang ditawarkan oleh Seyyed
Hossein Nasr ini merupakan versus paham modern yang melepaskan diri dari ilahi
dan dari prinsip-prinsip abadi yang dalam realitasnya mengatur segala sesuatu.
Inilah yang menjadi titik landasan dan dasar pemikiran yang ia bangun.
Demikian pemaparan
makalah ini tentang manusia tradisional versus manusia modern perspektif sayyed
Hossein Nasr, dan semoga kita semua dapat memahaminya, walaupun tak seutuh
sebagaimana sayyed Hossein Nasr memahami pemikirannya sendiri. Walaupun
demikian, ketidak-pahaman kita akan sesuatu, itu pun merupakan suatu bentuk
pemahaman kita itu sendiri akan sesuatu tersebut. Yakin usaha sampai.
DAFTAR PUSTAKA
Afif,
Muhammad. Dari Teologi ke Ideologi, (Bandung:
Pena Merah 2004).
Aminrazavi, Mehdi dan
Zailan Moris. The Complete Bibliografi of
Seyyed Hosein Nashr from 1958 through
1993. (Kuala Lumpur: t.p 1994).
Maksum, Ali. Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern:
Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme
Islam” Saiyyed Hossein Nasr. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003).
Munir,A.
dan Sudarsono. Aliran Modern Dalam Islam,
(Rineka Cipta, Jakarta 1994).
Nasr,
Seyyed Hossein. Intelektual Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1997).
Nasr,
Seyyed Hossein. Islam dalam Cita dan
Fakta, (terj. Abdurrahman Wahid dan Hashim Wahid,. (Jakarta: LEPPENAS, PT. Panca Gemilang Indah 1983).
Nasr, Seyyed Hossein.
Islam dan Nestapa Manusia Modern. (Bandung:
Penerbit Pustaka 1983).
Nasr, Seyyed Hossein. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern. (Bandung: Penerbit
Pustaka 1994).
Nasr,
Seyyed Hossein. Menjelajahi Dunia Modern,
(Bandung: Mizan. 1995).
Qardhawi, Yusuf. Epistemologi
AL-Quran. (Surabaya: t.p 1996).
Qardhowi,
Yusuf. Keprihatinan Muslim Modern, (Surabaya:
Dunia Ilmu 1997)
Saefullah,
Chatib. Pemikiran Sayyed Hossein Nasr Tentang
Epistemologi, (Tesis Oleh Dawam Raharjo),
1995.
http://wikipedia.com
[1] Aminrazavi
and Moris, The Complete Bibliografi
Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993, hal. xiii.
[2] Kata tradisional dan tradisi disini yang dimaksudkan
bukanlah kebiasaan, adat istiadat atau penyampaian ide-ide atau motif secara
otomatis dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Tradisi yang dimaksud
disini yaitu serangkaian prinsip yang diturunkan dari langit dengan disertai
sebuah manifestasi Ilahiah, dengan disesuaikan pada konteks kemasyarakatan yang
berbeda-beda. Lihat: Seyyed Hossein Nasr, Islam
dan Nestapa Manusia Modern, hal. 79
[3] Aminrazavi
and Moris, The Complete Bibliografi
Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993, hal. xiii.
[4] http://wikipedia.com/
[5] Ibid
[6] Filsafat perennial adalah nama lain dari metafisika
Islam sebagaimana dipahami Nasr. Ia juga menyebutnya sebagai ilmu tentang
Kenyataan Ultim, yang ada dalam semua agama atau tradisi spiritual sejak awal
sejarah intelektual manusia hingga kini. Meskipun disebut “filsafat”, warna
mistikalnya amat kental.
[7] Nasr banyak merujuk pemahaman tentang esoteris dan
eksoteris Islam dari buku Frithjof Schuon berjudul Understanding Islam yang
diterjemahkan dari bahasa aslinya berbahasa Perancis berjudul Comprendre
I’Islam oleh D.M. Matheson.
[8] Pemikir ini banyak memberikan kontribusi mengenai
pandangan-pandangan metafisis dalam filsafat perenial, yang berisi kritik atas
filsafat Barat modern. Dan yang paling urgen adalah dia juga seorang tokoh
utama dalam perspektif tradisional di dunia modern yang banyak berbicara
tentang makna tradisi.
[9] Ali Maksum, Tasawuf
Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme
Islam” Saiyyed Hossein Nasr, hal. 50
[10] Sayyed Hossein Nasr, Menjelajahi Dunia Modern, hal 149
[11] Sayyed Hossein Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, hal 7-8
[12] Yusuf Qardhawi, Epistemologi
al-Quran, hal 113
[13] Sayyed Hossein Nassr, Islam dan Nestapa Dunia Manusia Modern, hal 83
[14] Yusuf Al-Qardhawi, Epistemologi
al-Quran, hal 114-115
[16] Sayyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, h. 185
[19] Chatib Saefullah, Pemikiran
Sayyed Hossein Nasr Tentang Epistemologi, hal.75
[20] Afif Muhammad, Dari
Teologi Ke Ideologi, hal.1
[21] Munir.A, dan Sudarsono, Aliran Modern dalam Islam, hal.8
[22] Yusuf Qardhawi, Keprihatinan
Muslim Modern, hal.47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar