@ikhsanyaqub
Sebagai
anak yang lahir di sebuah negara yang bernama Indonesia, dimana aku terlempar
di dunia ini dengan bapak-ibu, kakek-nenek, hingga buyut yang bertanah air di
kepulauan ini, tentu sangatlah wajar jika aku merasa prihatin dengan situasi dan
kondisi yang nyata hadir di depan
mataku. Aku muak dan serba salah dengan negeri yang sudah sekian lama terjajah,
namun aku belum menemukan cara agar terbebas darinya. Jerat penjajah ini sangat
erat kurasakan, terutama dalam pergaulanku sehari-hari di tengah masyarakat.
Mulai
dari menonton TV, kita sudah disajikan dengan berbagai sinema elektronika dengan
berbagai judul, dan kisah-kisahnya.
Sinema elektronika,
disingkat sinetron, merupakan pilihan yang dilakukan oleh TVRI kala dunia
hiburan sinema nasional mandeg pada putaran 1980-an. Apa
yang menjadi background sinetron kita? Ia menampilkan berbagai melodrama
tentang permasalahan keluarga, masalah percintaan muda-mudi, lengkap dengan aksesori
kemewahan, air mata wanita, gemerlap diskotik, dan sebagainya. Seorang kritikus
film Gerard LeBlanc mengungkapkan adanya kecenderungan keinginan kalangan
borjuis film (produsen film) untuk menampilkan apa yang “tidak biasa” dimiliki
oleh masyarakat luas. Ia menciptakan kepuasan semu (pseudo-satisfaction)
dalam bentuk seksualitas, politik, emosional, ekonomi, bahkan metafisika, yang
kesemuanya melegitimasi alienasi (pengasingan) masyarakat. Lebih jauh, penonton
akan mendelegasikan kekuatannya untuk melakukan perubahan masyarakat , sesuai
dengan karakter yang disajikan tontonan tersebut.
Tampilan
dalam sinetron kebanyakan telah mengasingkan kita dari realitas, dan energi
yang seharusnya dapat kita salurkan dalam menggalang sebuah perubahan sosial,
telah tersedot dalam mimpi-mimpi kita dengan mendelegasikan momentum perubahan
tersebut sesuai dengan kepahlawanan dan karakterisasi yang ditunjukkan oleh
tontonan tersebut. Apa yang “tidak mungkin” dalam kehidupan, adalah “mungkin”
dalam sinetron. Namun naifnya adalah bahwa kita terburu-buru untuk
menidakmungkinkan banyak hal termasuk perubahan sosial di lingkungan kita dan
menjebakkan diri ke dalam realitas semu yang kita hidupi di depan layar kaca
televisi. Sehingga obrolan-obrolan tentang masyarakat, analisa kondisi sosial
sekitar, dan sebagainya jauh lebih tidak enak ketimbang nonton sinetron.
Sebuah
contoh yang menarik adalah kasus film porno yang melibatkan oknum artis beberapa
waktu yang lalu. Pornografi tentu saja bukan barang yang asing dan mudah
didapatkan untuk sekarang ini. Sinetron sendiri seringkali menyajikan hal-hal
yang menjurus ke arah sana. Dada yang terbuka, paha yang diangkat
tinggi-tinggi, adegan ranjang meski sedikit obskur, dan sebagainya.
Namun masyarakat seolah-olah shock/kaget melihat adanya oknum artis yang melakukan hal
serupa di sinetron. Respon masyarakat pun beraneka ragam, mulai dari menghujat,
memaki-maki, mendemo persidangan, dan adapula yang membela. Bahkan lucunya lagi
media massa pun seolah gempar dengan kabar tersebut, dengan meminta pendapat
kepada ustadz-ustadz penjilat, yang kemudian menjadi berita hangat untuk
dijual.
Esensinya
adalah kebebasan seksual yang telah menjadi santapan kita sehari-hari dalam
sinetron, yang bahkan para ibu-ibu sering menangis dan menelantarkan anaknya
keluar malam, namun tatkala ketahuan salah seorang anggota masyarakat kita melakukan
hal serupa, kita menjadi ribut. Ada apa dengan masyarakat kita? Seolah telah
terjadi anomie yang begitu kentara pada perangkat nilai kita. Sebatas tontonan
kita monggo, namun ternyata suprastruktur
budaya kita tidak menerimanya. Seolah dengan kasus ini kita terkejut dengan
adanya ketidak-sinkronan antara apa yang biasa kita tonton dengan apa yang kita
alami dalam keseharian.
Belum
lagi masalah olahraga, pakaian, makanan, minuman, hingga game, yang kalau diamati ternyata menggelikan. Apakah
dengan maraknya masyarakat kita menyaksikan liga sepakbola Italia (Lega
Calcio), Piala Dunia, dll, maka PSSI akan dapat menembus Putaran Final
Piala Dunia? Sepakbola yang kita saksikan di televisi dalam siaran langsung
atau tunda, ataupun serangkaian program televisi yang menampilkan highlight,
ataupun cerita di balik pertandingan tentu bukan lagi jadi olahraga. Ia
telah berubah menjadi olahraga yang terkomodifikasi, dan yang kita kenyam itu adalah
komodifikasinya. Bukannya jadi sehat karena rajin berolahraga, kita malah jadi
mengantuk siang harinya karena semalaman begadang menyaksikan pertandingan di
televisi.
Tayangan
sepak bola tentunya telah menjadi hiburan tersendiri yang menjadi sebuah obyek
budaya yang tak bisa dielakkan. Ia tampil dalam acara televisi, tampil dalam T-Shirt
baik yang asli ataupun tiruan, gantungan kunci, hingga korek api. Yang
lahir adalah mania-mania alias penggemar buta yang mau tak mau “sama” seperti
efek sinetron di atas. Sepak bola telah bukan menjadi sepak bola, obyektifasi
pertandingannya dalam berbagai pola produksi telah menginjeksikan ekstase bagi
para mania atau penggemar yang menjadikannya lebih dari sekadar ideologi yang
ada. Ia telah menjadi ekstase bagi sub-kulturnya. Lebih lanjut bahwa secara fenomenal
kita tak hanya sekedar menonton pertandingan sepak bola saja, melainkan kita memiliki
keterlibatan di dalam pertandingan itu, dan secara hyper-real kita memang
terlibat melalui berbagai komodifikasi yang ada di sekitar kita.
Belum
cukup sampai disitu, Bukan rahasia umum lagi bahwa musik yang populer adalah
musik yang nampang di TV maupun radio. Lagi-lagi kita berurusan dengan
televisi. Hal ini mungkin menjawab keanehan mengapa pasar musik orang Indonesia
hanya seputar Indonesia, dan mengapa tidak sampai ke Eropa atau Amerika. Apakah
karena kualitas musiknya yang memang buruk? Karenanya, gaya hidup kita telah
sedemikian dekat dengan gaya hidup yang dipenetrasikan, karena musik merupakan
petanda (signifier) yang memiliki tematikal yang lain pula
interpretasinya di sini. Gaya berpacaran kita lambat tapi pasti telah mengikuti
tren ini, gaya kencan, dan seterusnya, yang semakin melegitimasi dekadensi akan
nilai dan moral yang ada. Melalui musik yang menular ke dalam gaya hidup,
pandangan hidup, bahkan selera, hingga suatu kondisi bahwa hal apa yang menjadi
tren saat ini. Kita hanya bisa mengekor di belakang dan tetap puas dengan itu,
oleh karena kepuasan individu yang ditonjolkan, sementara solidaritas kolektif
di masyarakat semakin ditipiskan oleh angin kapitalisme ang dahsyat ini.
Belum
lagi Handphone, dengan segala tetek bengeknya hingga SMS digunakan untuk
mencari jodoh lebih dari sekadar alat komunikasi murah. Semuanya menghilangkan
jati diri kita, sehingga tatkala kita ditanya: “apa yang kita inginkan?”, maka
seribu merek akan keluar dari mulut kita, sementara kita tidak pernah tahu apa yang
kita butuhkan.
Media
mungkin menjadi kunci dari semua ini. Ia membentuk isi kepala kita hingga selera
kita. Yang keren, yang asyik, yang enak, telah seolah ditentukan sedemikian
rupa olehnya dengan pilihan-pilihan dan seolah-olah kita bebas untuk memilih, padahal kita terbatasi dengan pilihan yang diizinkannya.
Akhirnya kita hanya butuh makan ayam goreng, sekarang kita jadi butuh KFC, tadinya
kita butuh air, sekarang kita butuh Aqua,
dan seterusnya. Kapitalisme telah berubah menjadi mekanisasi hasrat (desiring
machine) yang merubah pola hasrat dari “butuh” (need logic)
menjadi “ingin” (desire logic).
Kesemuanya
ini telah menjadikan kita menjadi “bule” dalam berfikir, namun suprastruktur
kebudayaan kita belum mampu menghempangnya. Kita jadi pasar dan kita sangat
bergantung pada pola produksi ini. Tak cuma masyarakat Awam, karena masyarakat
intelektual pun serupa. Berbagai macam software, game-game computer, dll menjadikan kita negara
pembajak terbesar di bidang software komputer. Kita boleh senang
sekarang karena pembelian software komputer saat ini murah sekali dengan
maraknya bisnis pembajakan software. Namun tatkala pasar global
benar-benar diterapkan dengan salah satu pilarnya adalah penghargaan atas
kekayaan intelektual termasuk software, maka kita harus terus membeli
dan membeli karena kita selama ini telah bergantungnya. Hayo, Kemana lagi kita harus berlari?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar