@ikhsanyaqub
Usai
sudah pemilihan presiden Republik Indonesia yang ke-7. Nampaknya ini menjadi
semacam letusan tembakkan tanda bahwa kesibukan dan euforia tahun politik 2014
harus segera diakhiri. Masyarakat pun sebagian besar telah menyalurkan
pilihannya masing-masing, tentu sesuai dengan harapan -baik secara ideal maupun
pragmatis- yang ada dalam setiap benak kepala, maupun proposal pemenangan.
Ada
satu hal yang membuat penulis miris dalam mengikuti perkembangan isu, wacana,
dan gerakan politik selama beberapa pekan kemarin, tidak lain karena terjadinya
beberapa peristiwa kematian demi kematian para akademisi intelektual tanah air.
Miris sekali melihat mereka dengan sadar berbondong-bondong melakukan aksi bunuh
diri, dengan terjun ke dalam jurang politik praktis.
Lihat
saja kelakuan rektor Universitas Paramadina Jakarta, Anies Baswedan, setelah
gagal nyapres dalam konvensi Capres Partai Demokrat, akhirnya dia memilih
mendukung Jokowi-JK. Pun Hamdi Muluk, seorang pakar psikologi politik UI Depok,
yang menilai kepribadian Capres dengan metode survei. Ada pula mantan Rektor
Universitas Udayana Bali, I Made Bakta, yang pada awalnya terang-terangan
mendukung Jokowi, namun setelah diperingatkan BAWASLU ia pun mundur. Di kubu sebrang
pun tak mau kalah, ada Laode M. Kamaluddin (Rektor Unissula Semarang), Marwah
Daud Ibrahim (Pengurus ICMI), Suyatno (Rektor UHAMKA) yang menandatangani
deklarasi mendukung Pasangan Prabowo-hatta.
Tulisan
ini bukan ketidak-setujuan penulis atas keberpihakan mereka (sebagai individu) pada
salah satu pasangan calon, melainkan kapasitas mereka sebagai akademisi. Mereka
seharusnya, seperti “teori bidan” nya Socrates, yaitu hanya memberikan prefensi
untuk masyarakat supaya objektif dalam menilai calon-calon yang ada, bukan
justru mengarahkan ke salah satunya. Kalau sudah begini, kemana lagi masyarakat
akan bertanya, kemana lagi kebenaran dan objektifitas akan menemukan muaranya?
Karena
politik praktis, sebagaimana yang disampaikan oleh kanda Syarif Syahrial
(Politisi Partai Golkar) kepada saya dalam sebuah diskusi, adalah
sekeras-kerasnya tempat bernaung. Maka dari itu, seorang politikus untuk dapat
bertahan dalam dunianya, diharuskan mempunyai banyak nyawa. Silahkan tafsirkan sendiri arti “nyawa” itu,
tapi yang jelas, seorang politikus bagaimanapun ia dihujat, dicaci, difitnah,
dipotong, atau bahkan dibunuh sekalipun, ia tetap hidup, bahkan senyum, meski
senyumnya agak jahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar