Kamis, 10 Juli 2014

Rest In Peace (RIP) Para Akademisi Tanah Air





@ikhsanyaqub
Usai sudah pemilihan presiden Republik Indonesia yang ke-7. Nampaknya ini menjadi semacam letusan tembakkan tanda bahwa kesibukan dan euforia tahun politik 2014 harus segera diakhiri. Masyarakat pun sebagian besar telah menyalurkan pilihannya masing-masing, tentu sesuai dengan harapan -baik secara ideal maupun pragmatis- yang ada dalam setiap benak kepala, maupun proposal pemenangan.

Ada satu hal yang membuat penulis miris dalam mengikuti perkembangan isu, wacana, dan gerakan politik selama beberapa pekan kemarin, tidak lain karena terjadinya beberapa peristiwa kematian demi kematian para akademisi intelektual tanah air. Miris sekali melihat mereka dengan sadar berbondong-bondong melakukan aksi bunuh diri, dengan terjun ke dalam jurang politik praktis.
Lihat saja kelakuan rektor Universitas Paramadina Jakarta, Anies Baswedan, setelah gagal nyapres dalam konvensi Capres Partai Demokrat, akhirnya dia memilih mendukung Jokowi-JK. Pun Hamdi Muluk, seorang pakar psikologi politik UI Depok, yang menilai kepribadian Capres dengan metode survei. Ada pula mantan Rektor Universitas Udayana Bali, I Made Bakta, yang pada awalnya terang-terangan mendukung Jokowi, namun setelah diperingatkan BAWASLU ia pun mundur. Di kubu sebrang pun tak mau kalah, ada Laode M. Kamaluddin (Rektor Unissula Semarang), Marwah Daud Ibrahim (Pengurus ICMI), Suyatno (Rektor UHAMKA) yang menandatangani deklarasi mendukung Pasangan Prabowo-hatta.
Tulisan ini bukan ketidak-setujuan penulis atas keberpihakan mereka (sebagai individu) pada salah satu pasangan calon, melainkan kapasitas mereka sebagai akademisi. Mereka seharusnya, seperti “teori bidan” nya Socrates, yaitu hanya memberikan prefensi untuk masyarakat supaya objektif dalam menilai calon-calon yang ada, bukan justru mengarahkan ke salah satunya. Kalau sudah begini, kemana lagi masyarakat akan bertanya, kemana lagi kebenaran dan objektifitas akan menemukan muaranya?
Karena politik praktis, sebagaimana yang disampaikan oleh kanda Syarif Syahrial (Politisi Partai Golkar) kepada saya dalam sebuah diskusi, adalah sekeras-kerasnya tempat bernaung. Maka dari itu, seorang politikus untuk dapat bertahan dalam dunianya, diharuskan mempunyai banyak nyawa. Silahkan tafsirkan sendiri arti “nyawa” itu, tapi yang jelas, seorang politikus bagaimanapun ia dihujat, dicaci, difitnah, dipotong, atau bahkan dibunuh sekalipun, ia tetap hidup, bahkan senyum, meski senyumnya agak jahat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar