Kamis, 01 Agustus 2013

Kemana Lagi Kita Harus Berlari?




@ikhsanyaqub
          Sebagai anak yang lahir di sebuah negara yang bernama Indonesia, dimana aku terlempar di dunia ini dengan bapak-ibu, kakek-nenek, hingga buyut yang bertanah air di kepulauan ini, tentu sangatlah wajar jika aku merasa prihatin dengan situasi dan kondisi yang  nyata hadir di depan mataku. Aku muak dan serba salah dengan negeri yang sudah sekian lama terjajah, namun aku belum menemukan cara agar terbebas darinya. Jerat penjajah ini sangat erat kurasakan, terutama dalam pergaulanku sehari-hari di tengah masyarakat.
          Mulai dari menonton TV, kita sudah disajikan dengan berbagai sinema elektronika dengan berbagai judul, dan kisah-kisahnya. Sinema elektronika, disingkat sinetron, merupakan pilihan yang dilakukan oleh TVRI kala dunia hiburan sinema nasional mandeg pada putaran 1980-an. Apa yang menjadi background sinetron kita? Ia menampilkan berbagai melodrama tentang permasalahan keluarga, masalah percintaan muda-mudi, lengkap dengan aksesori kemewahan, air mata wanita, gemerlap diskotik, dan sebagainya. Seorang kritikus film Gerard LeBlanc mengungkapkan adanya kecenderungan keinginan kalangan borjuis film (produsen film) untuk menampilkan apa yang “tidak biasa” dimiliki oleh masyarakat luas. Ia menciptakan kepuasan semu (pseudo-satisfaction) dalam bentuk seksualitas, politik, emosional, ekonomi, bahkan metafisika, yang kesemuanya melegitimasi alienasi (pengasingan) masyarakat. Lebih jauh, penonton akan mendelegasikan kekuatannya untuk melakukan perubahan masyarakat , sesuai dengan karakter yang disajikan tontonan tersebut.
          Tampilan dalam sinetron kebanyakan telah mengasingkan kita dari realitas, dan energi yang seharusnya dapat kita salurkan dalam menggalang sebuah perubahan sosial, telah tersedot dalam mimpi-mimpi kita dengan mendelegasikan momentum perubahan tersebut sesuai dengan kepahlawanan dan karakterisasi yang ditunjukkan oleh tontonan tersebut. Apa yang “tidak mungkin” dalam kehidupan, adalah “mungkin” dalam sinetron. Namun naifnya adalah bahwa kita terburu-buru untuk menidakmungkinkan banyak hal termasuk perubahan sosial di lingkungan kita dan menjebakkan diri ke dalam realitas semu yang kita hidupi di depan layar kaca televisi. Sehingga obrolan-obrolan tentang masyarakat, analisa kondisi sosial sekitar, dan sebagainya jauh lebih tidak enak ketimbang nonton sinetron.
          Sebuah contoh yang menarik adalah kasus film porno yang melibatkan oknum artis beberapa waktu yang lalu. Pornografi tentu saja bukan barang yang asing dan mudah didapatkan untuk sekarang ini. Sinetron sendiri seringkali menyajikan hal-hal yang menjurus ke arah sana. Dada yang terbuka, paha yang diangkat tinggi-tinggi, adegan ranjang meski sedikit obskur, dan sebagainya. Namun masyarakat seolah-olah shock/kaget melihat adanya oknum artis yang melakukan hal serupa di sinetron. Respon masyarakat pun beraneka ragam, mulai dari menghujat, memaki-maki, mendemo persidangan, dan adapula yang membela. Bahkan lucunya lagi media massa pun seolah gempar dengan kabar tersebut, dengan meminta pendapat kepada ustadz-ustadz penjilat, yang kemudian menjadi berita hangat untuk dijual.
          Esensinya adalah kebebasan seksual yang telah menjadi santapan kita sehari-hari dalam sinetron, yang bahkan para ibu-ibu sering menangis dan menelantarkan anaknya keluar malam, namun tatkala ketahuan salah seorang anggota masyarakat kita melakukan hal serupa, kita menjadi ribut. Ada apa dengan masyarakat kita? Seolah telah terjadi anomie yang begitu kentara pada perangkat nilai kita. Sebatas tontonan kita monggo, namun ternyata suprastruktur budaya kita tidak menerimanya. Seolah dengan kasus ini kita terkejut dengan adanya ketidak-sinkronan antara apa yang biasa kita tonton dengan apa yang kita alami dalam keseharian.
          Belum lagi masalah olahraga, pakaian, makanan, minuman, hingga game, yang kalau diamati ternyata menggelikan. Apakah dengan maraknya masyarakat kita menyaksikan liga sepakbola Italia (Lega Calcio), Piala Dunia, dll, maka PSSI akan dapat menembus Putaran Final Piala Dunia? Sepakbola yang kita saksikan di televisi dalam siaran langsung atau tunda, ataupun serangkaian program televisi yang menampilkan highlight, ataupun cerita di balik pertandingan tentu bukan lagi jadi olahraga. Ia telah berubah menjadi olahraga yang terkomodifikasi, dan yang kita kenyam itu adalah komodifikasinya. Bukannya jadi sehat karena rajin berolahraga, kita malah jadi mengantuk siang harinya karena semalaman begadang menyaksikan pertandingan di televisi.
          Tayangan sepak bola tentunya telah menjadi hiburan tersendiri yang menjadi sebuah obyek budaya yang tak bisa dielakkan. Ia tampil dalam acara televisi, tampil dalam T-Shirt baik yang asli ataupun tiruan, gantungan kunci, hingga korek api. Yang lahir adalah mania-mania alias penggemar buta yang mau tak mau “sama” seperti efek sinetron di atas. Sepak bola telah bukan menjadi sepak bola, obyektifasi pertandingannya dalam berbagai pola produksi telah menginjeksikan ekstase bagi para mania atau penggemar yang menjadikannya lebih dari sekadar ideologi yang ada. Ia telah menjadi ekstase bagi sub-kulturnya. Lebih lanjut bahwa secara fenomenal kita tak hanya sekedar menonton pertandingan sepak bola saja, melainkan kita memiliki keterlibatan di dalam pertandingan itu, dan secara hyper-real kita memang terlibat melalui berbagai komodifikasi yang ada di sekitar kita.
          Belum cukup sampai disitu, Bukan rahasia umum lagi bahwa musik yang populer adalah musik yang nampang di TV maupun radio. Lagi-lagi kita berurusan dengan televisi. Hal ini mungkin menjawab keanehan mengapa pasar musik orang Indonesia hanya seputar Indonesia, dan mengapa tidak sampai ke Eropa atau Amerika. Apakah karena kualitas musiknya yang memang buruk? Karenanya, gaya hidup kita telah sedemikian dekat dengan gaya hidup yang dipenetrasikan, karena musik merupakan petanda (signifier) yang memiliki tematikal yang lain pula interpretasinya di sini. Gaya berpacaran kita lambat tapi pasti telah mengikuti tren ini, gaya kencan, dan seterusnya, yang semakin melegitimasi dekadensi akan nilai dan moral yang ada. Melalui musik yang menular ke dalam gaya hidup, pandangan hidup, bahkan selera, hingga suatu kondisi bahwa hal apa yang menjadi tren saat ini. Kita hanya bisa mengekor di belakang dan tetap puas dengan itu, oleh karena kepuasan individu yang ditonjolkan, sementara solidaritas kolektif di masyarakat semakin ditipiskan oleh angin kapitalisme ang dahsyat ini.
          Belum lagi Handphone, dengan segala tetek bengeknya hingga SMS digunakan untuk mencari jodoh lebih dari sekadar alat komunikasi murah. Semuanya menghilangkan jati diri kita, sehingga tatkala kita ditanya: “apa yang kita inginkan?”, maka seribu merek akan keluar dari mulut kita, sementara kita tidak pernah tahu apa yang kita butuhkan.
          Media mungkin menjadi kunci dari semua ini. Ia membentuk isi kepala kita hingga selera kita. Yang keren, yang asyik, yang enak, telah seolah ditentukan sedemikian rupa olehnya dengan pilihan-pilihan dan seolah-olah kita bebas untuk memilih, padahal kita terbatasi dengan pilihan yang diizinkannya. Akhirnya kita hanya butuh makan ayam goreng, sekarang kita jadi butuh KFC, tadinya kita butuh air, sekarang kita butuh Aqua, dan seterusnya. Kapitalisme telah berubah menjadi mekanisasi hasrat (desiring machine) yang merubah pola hasrat dari “butuh” (need logic) menjadi “ingin” (desire logic).
          Kesemuanya ini telah menjadikan kita menjadi “bule” dalam berfikir, namun suprastruktur kebudayaan kita belum mampu menghempangnya. Kita jadi pasar dan kita sangat bergantung pada pola produksi ini. Tak cuma masyarakat Awam, karena masyarakat intelektual pun serupa. Berbagai macam software, game-game computer, dll menjadikan kita negara pembajak terbesar di bidang software komputer. Kita boleh senang sekarang karena pembelian software komputer saat ini murah sekali dengan maraknya bisnis pembajakan software. Namun tatkala pasar global benar-benar diterapkan dengan salah satu pilarnya adalah penghargaan atas kekayaan intelektual termasuk software, maka kita harus terus membeli dan membeli karena kita selama ini telah bergantungnya. Hayo, Kemana lagi kita harus berlari?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar