Selasa, 28 Mei 2013

Menyoal Organisasi Kontemporer




@ikhsanyaqub
            Sekarang ini banyak organisasi-organisasi bermunculan, dengan beraneka ragam simbol-simbol yang dibawanya. Sebagai masyarakat yang beriklim demokrasi, hal ini tentunya sangatlah wajar, dimana organisasi adalah wadah yang sangat potensial untuk menghimpun kekuatan demi tercapainya suatu tujuan. Dalam pencapaian suatu tujuan ini, pastilah timbul banyak permasalahan. Permasalah yang dihadirkan penulis dalam tulisan ini lebih banyak mengenai hal-hal apa saja yang dihadapi organisasi dewasa ini, terutama seputar semangat dan rasa berorganisasi, yang sekarang ini kurang terasa greget-nya, serta bagaimana menjawab tantangan ini.
            Seperti telah disebutkan diatas, banyak organisasi yang bermunculan sekarang. Ini semua menurut penulis lebih disebabkan karena banyaknya masyarakat, dimana dalam suatu masyarakat tidak mungkin mempunyai satu tujuan dan pandangan hidup yang sama. Mereka yang mempunyai kesamaan, atau lebih tepatnya kemiripan dalam tujuan dan pandangan hidupnya, menghimpun dan menyatakan berdirinya suatu organisasi sebagai wadah untuk merealisasikan kehendak jiwa mereka.
            Kehendak jiwa yang ingin bersatu ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah faktor kesamaan sejarah. Kalau kita flash back lahirnya bangsa Indonesia pada tanggal 28 oktober 1928 yang ditandai dengan peristiwa Sumpah Pemuda, maka akan terlihat bahwa kesamaan sejarahlah yang menjadi faktor timbulnya kehendak jiwa mereka  untuk menyatukan diri melawan penjajahan, yang membelenggu kebebasan mereka sekitar tiga abad.  Kehendak ini lalu direalisasikan dengan pendirian negara Indonesia pada tanggal 18 agustus 1945, yang ditandai dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara, dan UUD 1945.  Disini Indonesia sudah berbentuk negara/organisasi, yang didalamnya terdapat struktur kekuasaan untuk mengatur wadah ini. Sampai disini kita telah mengetahui perbedaan antara bangsa dan negara.
            Ada kemiripan antara sejarah Indonesia dengan sejarah kekhalifahan Islam. Kekhalifahan disini merujuk pada kepemimpinan Nabi Muhammad sampai Ali bin Abi Thalib, dimana sebelum terciptanya sistem organisasi kekhalifahan ini, telah ada suatu kehendak jiwa orang-orang Islam untuk menyatukan diri melawan diskriminasi orang-orang suku Quroish, yang ditandai dengan peristiwa hijrah dari Mekah ke Madinah yang dipimpin Nabi. Baru setelah itu berdirilah organisasi kekhalifahan, yang ditandai dengan piagam Madinah. Kemiripannya terletak pada menomor-satukan kehendak jiwa atau semangat persatuan daripada kekuasaan.
            Berbeda halnya dengan sejarah Amerika Serikat, dimana kekuasaan dalam bentuk organisasi kenegaraan dibentuk terlebih dahulu, yang ditandai dengan Declaration of Independent tahun 1776, lalu disusul pernyataan kehendak rakyatnya yang ditandai dengan slogan We are the American people tahun 1778. Begitu halnya dengan Inggris, Malaysia, dsb.  Ada hal yang menarik dalam beberapa sejarah diatas yang dapat diambil pelajaran untuk kehidupan berorganisasi. Kata kuncinya adalah antara “kehendak jiwa/kehendak bersama” dan “kekuasaan”.
            Bangsa sebagaimana didefinisikan adalah kehendak jiwa yang ingin bersatu, sedangkan negara adalah organisasi/kekuasaan yang mengatur rakyat. Bangsa adalah mutlak adanya karena sebagai ketetapan Tuhan. Ini tercantum dalam surat al-Hujarat ayat 13, yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal…”. Sudah jelaslah bahwa bangsa adalah ciptaan Tuhan, maka dari itu ia mutlak adanya. Sedangkan negara dengan segala sistem struktur kekuasaan dan peraturannya adalah ciptaan manusia, maka dari itu ia adalah relatif adanya, tidak tetap adanya, layaknya manusia yang relatif dan tidak tetap.
            Hal ini begitu penting karena kehendak jiwa dengan kekuasaan amat lah berbeda. Kehendak ini sifatnya idea, yang kemudian lahir keyakinan dan kultur bersama dalam bentuk ideologi. Disinilah dasar kekuatan terciptanya suatu organisasi yang mengandalkan kekuasaan. Sehingga nantinya segala hukum dan peraturan yang dibuat, itu merujuk pada kehendak bersama tadi, dan hasilnya adalah tidak ada anggotanya yang dirugikan. Berbeda halnya dengan kekuasaan sifatnya adalah material, kerena berbentuk struktur dan sederet peraturan organisasi tersebut. Disinilah politik mengambil peran penting dalam segala kebijakan yang dibuat. Kekuasaan dapat membantu dalam realisasi kehendak jiwa itu, tetapi dapat menjadi boomerang mematikan jika tidak di feed back kembali pada kehendak bersama itu. Lalu bagaimana ingin di feed back kan, kalau kekuasaan ini diangkat lebih dahulu?.
            Mungkin inilah kiranya yang menjadi penyebab utama lesunya minat orang untuk berorganisasi sekarang ini. Kultur yang sudah ada mulai dilupakan, bahkan tidak tahu. Semangat perjuangan dan persatuan telah luntur, sehingga menjadikan ketidakjelasan tujuan. Tujuan yang jelas hanyalah hal-hal yang berbau politik dan kekuasaan dimana uang adalah martirnya. Organisasi memang alat, tetapi alat untuk persaudaraan, kekeluargaan, pencapaian cita-cita bersama, bukan alat memuaskan orang-orang yang materialis pragmatis yang haus akan nama baik, jabatan, kesohoran, dll. Organisasi seperti ini adalah pembodohan, menghapus norma-norma etika dan moral, “benar” dan “tidak benar” tidak berlaku, tetapi hanya sekedar retorika (teknik meyakinkan). Maka dari itu, dalam berorganisasi, seharusnya dimensi kultural lebih diutamakan dari dimensi struktural. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar