Rabu, 12 Juni 2013

Kemerdekaan dan Independensi Kader; Sebuah Cocologi



@ikhsanyaqub

            Himpunan Mahasiswa Islam, atau biasa disingkat HMI, adalah organisasi kemahasiswaan tertua yang eksistensinya masih terjaga sampai saat ini. Selalu terngiang di kepalaku ketika seorang senior berkata: “HMI tak pernah mati karena sebagai sebuah himpunan, yang mana secara letter look berarti silaturahmi, sedangkan Allah menjanjikan panjang umur kepada siapa yang mempererat tali silaturahmi”. Apalagi dalam silaturahmi ini tujuannya adalah memperjuangkan agama Allah, dimana Allah sendiri berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”(Q.S 47:7). Maka hal yang paling diutamakan dalam himpunan ini adalah keyakinan kita kepada Allah dalam perjuangannya.

            Keyakinan yang dimana tidak ada keraguan didalamnya, haruslah bersandar kepada sesuatu yang tidak dapat diragukan pula. Tidak diragukan ini dimaksudkan, bagaimana sesuatu itu tidak rapuh, tidak berubah-rubah, tidak hanya sebagian, atau bisa disebut “kebenaran mutlak”. Kebenaran mutlak ini dalam Islam dibahasakan dengan Allah SWT.

            Percaya kepada sesuatu yang bersifat materil dapat membuat seseorang mudah digoyah, mudah untuk ditekan. Kalau sudah seperti itu, maka kemerdekaan dirinya atas dirinya sendiri sudah tercerabut dari akar keakuannya (keilahian). Oleh karena ideologi yang dianutnya tersebut, HMI menjadi organisasi yang menjunjung tinggi nilai independensi. Ia tidak bergantung pada apapun dan siapapun kecuali Tuhannya.

            Namun melihat fenomena HMI kontemporer, penulis melihat kader-kadernya justru semakin jauh dari nilai independensi itu tadi. Hal ini terlihat dari semakin bergantungnya junior kepada senior, dimana senior itu adalah manusia, dan manusia itu adalah materi. Ketergantungan inipun karena para junior merasa perlu untuk mencari muka dengan senior. Sehingga dengan mudahnya dia di-stir dalam hal politis, bahkan sampai pada aspek kaderisasi. Hal ini berdampak pada berkurangnya kualitas pengkaderan di HMI, sampai pada akhirnya masing-masing saling membesarkan “ego” masing-masing. Idealisme yang salah kaprah seperti ini tentunya akan merusak ukhkuwah dalam Himpunan Mahasiswa Islam ini. Kalau sudah seperti ini, apakah masih layak HMI disebut sebagai pencetak generasi muslim yang baik, dan pemimpin bangsa yang bijak?

            Menyaksikan hal-hal yang seperti ini, kita sebagai kader perlu memperhatikan masalah independensi itu tadi. Walaupun dalam hal politis para kader tak mungkin bersatu, karena mungkin ia mempunyai ide yang berbeda, senior yang berbeda, gerbong yang berbeda, bahkan hobi yang berbeda, namun setidak-tidaknya dalam tataran kaderisasi dan ukhkuwah harus tetap dijaga. Ini sangat penting agar kekompakkan dalam tataran kaderisasi terjaga, dan tidak ada saling membenci, saling menghujat, apalagi saling memfitnah dalam himpunan ini.

            Perbedaan daerah, pemikiran, senior, bahkan hobi seharusnya menjadi sendi organisasi. Walaupun sendi itu sering terjadi gesekan antar tulang, namun justru itulah fungsinya sendi, agar tulang-tulang itu dapat bergerak, tetapi tidak menghancurkan tulang-tulang itu sendiri. Wong kita berhimpun untuk saling menutupi kekurangan, menjadi kader muslim yang kuat, demi melawan musuh abadi kita: setan. HMI bukan sebagai wadah pemecah-belah umat Islam itu sendiri. Bahagia HMI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar