Selasa, 28 Mei 2013

Pemilu, Demokrasi dan Kebebasan; Sebuah Paradoks



Sering sekali kita menyaksikan pemberitaan-pemberitaan politik dalam negeri kita yang tidak ada habisnya, terlebih lagi pemilu. Pemilu (pemilihan umum) adalah sebuah pesta bagi negara yang menganut sistem demokrasi, yang mana negara itu harus membayar mahal jamuannya tersebut, hanya demi satu tujuan substantif, yaitu mencari seorang pemimpin. Jalan-jalan yang dipenuhi spanduk, poster, pamflet, bendera parpol serasa menjadi tarian yang disuguhkan, serta kampanye dan debat kandidat adalah musik yang mengiringinya. Berbagai macam media, lembaga survey, dan ormas pun tak mau ketinggalan untuk meramaikan pesta ini. Berbagai macam respon pun muncul dari masyarakatnya atas fenomena tersebut; positif/negatif, optimis/pesimis, apatis, dll.
            Begitupun dalam lingkungan yang lebih kecil lagi, kampus misalnya. Tentu belum asing bagi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mendengar pemilu BEM/SEMA mulai tingkat jurusan/prodi, fakultas, maupun universitas, yang dalam ketidakjelasannya itu menyimpan kejelasan khasnya sendiri. Terlepas dari isu-isu/fakta-fakta yang muncul –baik pada awal, pertengahan maupun akhirnya, baik kebaikan maupun keburukan- pemilu ini pun juga pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama sebagaimana tertulis pada alinea pertama, yaitu mencari seorang pemimpin.
            Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur, dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan partisipasi dan kebebasan masyarakat.  Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilu tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.
            Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009, Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilu yaitu 1945, 1955, 1971, 1977, 1982, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Pemilu pada tahun 1955 dianggap pemilu yang dianggap istimewa karena ditengah suasana kemerdekaan yang masih tidak stabil, Indonesia melakukan pemilu. Bahkan dunia internasional memuji pemilu pada tahun tersebut. Pemilihan umum berlangsung dengan terbuka, jujur dan fair, meski belum ada sarana komunikasi secanggih pada saat ini ataupun jaringan kerja KPU.
            Pemilihan umum merupakan proses politik yang secara konstitusional bersifat nyata bagi negara demokrasi. Sebagai sistem, demokrasi nyata-nyatanya telah teruji dan diakui paling realistik dan rasional untuk mewujudkan tatanan sosial, politik, ekonomi yang populalis, adil dan beradab, kendati bukan tanpa kelemahan. Begitu tak terbantahkannya tesis-tesis demokrasi, sehingga hampir semua penguasa otoriter dan tiran menyebut sistem yang digunakannya sebagai sistem yang demokratis.
            Sistem demokrasi sebagaimana yang dipakai dalam pemilu, merupakan turunan dari liberalisme dalam bidang politik. Liberalisme atau liberalism sebagaimana umumnya diketahui adalah sebuah ideologi/pandangan filsafat yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai yang utama/fundamental. Sulit memang mendefinisikan liberalisme secara utuh, namun secara umum liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, yang dicirikan oleh kebebasan berpikir, berpendapat, dan berkarya bagi tiap individu. Titik tekannya adalah kebebasan per individual.
            Liberalisme hanya akan tumbuh dalam lingkungan yang demokratis. Dan demokrasi berarti menyamakan hak setiap individu untuk berpartisipasi dalam perpolitikan suatu pemerintahan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan, bahwa demokrasi merupakan cara melaksanakan cita-cita liberalisme dalam bidang politik. Jadi bagaimana suatu pemerintahan menjaminkan kebebasan tiap-tiap individu untuk berpolitik, itulah demokrasi. Istilah demokrasi seperti ini sering diistilahkan dengan demokrasi liberal. Setiap individu mau siapapun dan bagaimanapun dia mempunyai hak politik yang sama. Oleh karena itu dalam suatu masyarakat yang menganut paham demokrasi, suara mayoritas lah yang menang.
            Tentunya dalam suatu masyarakat, tiap-tiap individunya mempunyai kapasitas yang tidak sama, baik kapasitasnya dalam hal kecerdasan, kepekaan, maupun kekayaannya. Kapasitas inilah yang nantinya akan menentukan apakah seseorang berpengaruh dalam suatu masyarakat atau tidak. Begitupun dalam hal ide, gagasan, dan aspirasi/keinginan per individu pun pasti berbeda. Nah untuk menampung kekuatan-kekuatan, serta aspirasi/ide-ide tersebut, biasanya dalam negara-negara demokrasi, ditampung dalam suatu kelompok yang biasa disebut partai. Partai-partai inilah yang akan memegang dan memainkan perpolitikan suatu negara.
            Kembali ke pemilu, dimana voting adalah mutlak. Dalam kemutlakannya tersebut terkandung suara mayoritas, dan mayoritas itupun mayoritas yang hadir di pemilu. Pemilu dengan segala aturan normatif yang berlaku, masih menyimpan tanda tanya besar. Pertanyaan ini adalah pertanyaan substansial dari induk demokrasi itu sendiri, yaitu liberalisme. Liberalisme yang mencita-citakan kebebasan individu, apakah benar-benar akan membebaskan individu-individu itu? Dan jikalau memang iya, maka apakah berpantas dengan pemilu?
            Dalam buku Etika Dasar karya Frans Magnis Suseno, menjelaskan sedikit banyak masalah kebebasan. Kebebasan merupakan nilai-nilai hakiki/substansial manusia. Dengan kebebasan manusia bebas menentukan pilihan tanpa terikat instingnya sendiri. Dalam hal insting berbuat baik pun manusia dapat memilih, mau melakukannya atau tidak. kebebasan menurutnya dibagi tiga, yaitu kebebasan fisik, psikis, dan sosial. Manusia bebas menggerakkan anggota tubuhnya, itulah kebebasan fisik. Manusia bebas berpikir akan suatu hal, itulah kebebasan psikis. Dan manusia bebas berhubungan sosial, itulah kebebasan sosial. Kebebasan fisik dan psikis lebih kepada kebebasan “dari”, dan kebebasan sosial lebih kepada kebebasan “untuk”.
            Lantas kemudian kebebasan individu ini perlu dibatasi jika berhubungan dengan individu lainnya (masyarakat) agar tercipta keharmonisan dan saling melengkapi. Pembatasan-pembatasan ini bukanlah suatu pemaksaan, karena pemaksaan akan menghapuskan martabat manusia yang mampu memilih apa yang akan dilakukannya. Pembatasan-pembatasan ini harus bersifat normatif, yang pengejawantahannya melalui pembagian hak dan kewajiban seorang individu kepada masyarakatnya, dan ini dituangkan dalam hukum yang didalamnya memuat aturan main, dan itu semua harus disepakati bersama. Artinya pembatasan yang dilakukan masyarakat -dalam hal ini pemerintah- harus rasional agar seorang individu mengetahui mengapa ia harus dibatasi oleh peraturan itu, dan terlebih lagi ia mau menaatinya karena ia menganggap peraturan itu adil.
            Sistem demokrasi mengatur bagaimana individu menjalankan haknya sebagai warga negara. Dalam demokrasi setiap individu mempunyai suara/hak yang sama dalam menentukan arah melangkah suatu masyarakat tersebut. Secara normatif, sebagaimanapun hebatnya seseorang itu tetap mempunyai suara/hak yang sama dengan orang yang sebagaimanapun bodohnya. Lantas pada akhirnya orang yang mempunyai kapasitas lebih itu akan menggunakan kapasitasnya tersebut untuk mempengaruhi individu lainnya (mayoritas), meskipun harus membuang moralnya, karena memang urusan moral dalam demokrasi menjadi urusan individu tersebut selama tidak merugikan. Maka tak heran jika propaganda, berbagai macam agitasi, dan politik uang (money politic) menjadi hal yang lumrah dalam demokrasi, lebih khususnya pada masa-masa pemilu.
            Lalu bagaimana kebebasan individu itu dihargai jika sistem yang berlaku (demokrasi) masih membuka kesempatan untuk itu (Propaganda, Agitasi, Money Politici). Karena hal itu akan mengintervensi keinginan/kebebasan si pemilih untuk memilih sesuai nuraninya. Jika sudah ada intervensi kepada individu, maka cita-cita liberalisme itupun akan bermakna kosong, blunder bahkan.
            Lantas apakah memperketat pengawasan adalah jawaban? Menurut saya tidak, karena pengawasannya pun masih bersifat normatif. Karena pada dasarnya pembatasan kebebasan secara normatif masih membuka kesempatan untuk melanggarnya. Contohnya jika kita mempunyai kamar dan tidak ingin kemalingan, maka kita harus menguncinya. Karena hal tersebut akan membatasi fisik si maling untuk memasuki kamar tersebut. Berbeda halnya jika kita hanya memasang kalimat “Dilarang Masuk!”, maka hal tersebut masih dapat dilanggar bahkan “menantang” si maling.
            Dari sekian banyak proposisi yang dibangun diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa demokrasi dan pemilu adalah suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, karena pemilu adalah barometer demokrasi di dalam suatu masyarakat. Demokrasi adalah bentuk, pemilu adalah materinya. Pemilu adalah prasyarat demokrasi. Disamping menjadi prasyarat demokrasi, pemilu juga menjadi pintu masuk atau tahap awal dari proses perkembangan demokratis.
            Perjalanan panjang Indonesia dalam menyelenggarakan  pemilu sejak tahun 1955 memberi pelajaran berharga untuk menata kehidupan bangsa kedepan menuju kehidupan yang lebih baik. Bangsa Indonesia mempunyai komitmen yang kuat untuk menyelenggarakan pemilu 2004 dengan format berbeda dengan sebelumnya, sehingga azas langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat dilaksanakan secara benar, konsekuen dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum, moral, maupun politis. Dan cita-cita liberalisme tidak dapat terwujud secara kaffah hanya dengan pemilu. Maka kita harus mencari metode yang paling pas, terutama untuk konteks masyarakat kita sendiri.

1 komentar: