Kamis, 17 Januari 2013

Mitologi Tulang Rusuk dan Pengaruhnya Dalam Pergaulan Kontemporer



Ketertarikan penulis untuk menulis artikel ini lebih disebabkan oleh gurauan-gurauan kontemporer yang banyak menggunakan istilah “tulang rusuk”, terlebih bagi mereka-mereka yang sampai saat ini belum memiliki pasangan (jomblo). Penulis menyadari bahwa istilah ini telah lama disebutkan  dalam kisah penciptaan Hawa dari “tulang rusuk” Adam. Istilah ini juga dihadirkan dalam salah satu lirik lagu oleh band Last Child, “jika memang dirimu lah tulang rusukku…”
            Mitologi yang berupa mitos-mitos, sebagaimana yang penulis kutip dari Roland.B adalah makna konotasi/makna yang tidak sebenarnya dari suatu tanda yang dirasakan. Seperti halnya kemenyan yang mempunyai makna konotasi sebagai pengundang makhluk halus, maka itu adalah mitos dari kemenyan. Mitos tercipta dan diyakini masyarakat karena pencitraan yang dilakukan terus-menerus dan berulang-ulang. Mitos adakalanya menjadi sebuah ideologi ketika mitos sudah mempengaruhi cara bertindak suatu masyarakat. Dalam tulisan ini penulis ingin mengurutkan sumber-sumber mitologi tulang rusuk, serta pengaruhnya yang semakin terasa akhir-akhir ini.
            Mitologi tulang rusuk sebenarnya sudah lama berkembang dalam ajaran-ajaran agama samawi, atau biasa disebut oleh mahasiswa perbandingan agama sebagai agama Ibrahim. Seperti tertulis dalam kitab al-Kitab: “Lalu tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." (Kejadian: 2: 21-23).
            Kemudian ajaran ini dilanjutkan oleh Islam, yang walaupun sumbernya bukan dari al-Qur’an, tetapi ada beberapa hadis yang berbunyi:  “Berbicaralah kepada perempuan dengan baik, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Maka jika dibengkokkan lagi tulang rusuk tersebut, maka ia akan patah.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim), “Sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, jika kalian mencoba meluruskannya ia akan patah. Tetapi, jika kalian membiarkannya maka kalian akan menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).
            Banyak pertentangan para ulama dalam hal tulang rusuk ini, ada yang meyakini bahwa perempuan (Hawa) memang tercipta dari tulang rusuk laki-laki (Adam), dan adapula yang menyangkalnya. Kerena di dalam al-Quran menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan itu sama-sama dicipta dari sumber yang satu (nafsu wahidah): “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dari “diri” yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah pada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (Q.s an-Nisa’;1).
            Penulis melihat bahwa perkembangan mitologi tulang rusuk dari zaman ke zaman selalu menyinggung 2 isu. Pertama yang sangat jelas adalah isu gender, dimana dalam mitologi ini, perempuan digambarkan sebagai sosok nomor dua, sosok pendamping saja bagi laki-laki, dan berterima-kasihlah para perempuan kepada laki-laki yang telah mengorbankan tulang rusuknya untukmu. Tentu saja para kaum feminism sangat menentang mitos ini, dan menganggap mitos ini adalah diskriminasi gender yang telah tertanam kuat sejak dahulu. Maka tak heran para pegiat gender sering mensosialisasikan dalam seminar-seminar atau artikel-artikel bahwa mitos seolah-olah tidak benar, tidak ada satu batang tulang rusuk pun yang hilang dari laki-laki. Kedua adalah isu perjodohan, dimana jodoh diartikan sebagai tulang rusuk yang hilang, dan laki-laki yang mencari jodoh sama saja mencari tulang rusuknya. Kalau nantinya tidak cocok berarti bukan jodoh, dan alasannya sederhana: bukan tulang rusuknya. Bahkan ada bentuk gurauan yang menyatakan bahwa laki-laki yang sulit mencari jodoh berarti tulang rusuknya itu masih lengkap. Tragis sekali. Yang menjadi kebingungan penulis sampai sekarang mengenai isu yang kedua adalah apa itu jodoh? Bagaimana ukuran seseorang itu sudah berjodoh?
            Banyak yang mengartikan jodoh ditandai dengan kepemilikan, yang mana kepemilikan ini dipersempit lagi menjadi pernikahan. Pernikahan inipun pada zaman kontemporer lebih dipersempit lagi menjadi pernikahan seumur hidup. Jadi tesisnya adalah seseorang dapat dikatakan berjodoh, jika ia sudah mencapai titik pernikahan seumur hidup. Mengenai hal ini penulis belum menemukan antitesis yang dapat memfalsifikasi tesis diatas.
            Kembali ke mitologi tulang rusuk diatas, jika tulang rusuk adalah perempuan, dan laki-laki sebagai empu-nya, maka terkesan bahwa perempuan itu pasif. Dan kepasifan perempuan akibat mitos ini pun berujung pada keserba-salahan perempuan dalam bertindak. Keserba-salahan perempuan ini akibat dari mainstream masyarakat bahwa perempuan itu dicari, bukan mencari. Istilah mencari jodoh biasa itu biasanya dilakukan dengan kegiatan menggoda, dan perempuan penggoda selalu berarti negatif ketimbang laki-laki penggoda. Maka tak heran jika lelaki seburuk apapun rupanya lebih mudah mendapatkan jodoh ketimbang perempuan buruk rupa. Tentu hal ini berujung pada ketidakadilan yang banyak terlihat dalam pergaulan kontemporer.
            Seperti dalam banyak kasus di jejaring sosial facebook, yang mana perempuan cantik ketika membuat status berbau kesedihan, tentunya banyak yang menyukai, serta komentar yang seolah-olah menyabarkan serta memberi masukan-masukan positif. Lain halnya dengan perempuan yang biasa saja, jika membuat status seperti itu, cendrung mendapat cemoohan lebay, bahkan tidak ada satupun orang yang menyukai atau memberi komentar-komentar yang positif. Tentunya hal ini bukan hanya terjadi di dunia maya, banyak kejadian-kejadian serupa pada kehidupan masyarakat, dimana seseorang dinilai lebih banyak dari rupa nya.
            Memang inilah asas kodrati manusia, yang cenderung pada kebaikan, termasuk kebaikan rupa. Tetapi hal ini seharusnya diimbangi dengan keadilan masing-masing individu dalam keaktifannya bergaul. Karena kalau tidak, maka ada salah satu pihak yang merasa tersingkirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar