Rabu, 09 Januari 2013

Manusia; Antara Kebebasan dan Ketundukkannya





Tulisan ini adalah refleksi penulis atas kajian dekonstruksi teks Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI karangan Nurcholis Madjid, yang ber-ruang di Pojok Inspirasi Ushuluddin (PIUSH) dan ber-waktu selasa sore. Kajian yang digeluti oleh mahasiswa-mahasiswa Ushuluddin ini menurut saya sangat menarik, karena banyak sekali ilmu yang saya dapatkan, serta hal-hal baru yang belum pernah terpikirkan.
            Terlebih lagi ketika membahas bab. IV tentang “Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan”. Dalam bab ini Cak Nur mengatakan, bahwa hubungan yang benar antara invidu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan akan meniadakan kemerdekaan, keikhlasan, dan kemanusiaan. Tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya adalah kebenaran. Oleh karena itu, sekalipun manusia tidak tunduk pada dunia sekitarnya, namun manusia masih dan mesti tunduk pada kebenaran, sehingga ia bisa disebut manusia merdeka. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan, sama saja dengan mengabdi kepada-Nya.
            Dari proposisi-proposisi yang dibangun Cak Nur diatas, secara eksplisit menyiratkan makna, bahwa tidak ada seorang manusia pun yang tidak tunduk pada sesuatu. “Sesuatu” ini secara ontologis, dapat berarti 2 jenis, yaitu sesuatu yang bersifat transenden/metafisik, dan sesuatu yang bersifat material/fisik. Ini berhubungan juga dengan proposisi sebelumnya, yaitu semua manusia pada dasarnya itu percaya akan sebuah kepercayaan. Keragu-raguan yang sempurna/skeptisme absolut tidak akan pernah terjadi, karena orang yang seperti itu pun masih percaya akan keragu-raguan, dan keragu-raguan juga merupakan salah satu bentuk kepercayaan itu sendiri. Maka dari itu, mengutip kata Keneth D.G, Skeptisme adalah naïf.
            Percaya akan suatu kepercayaan, berarti tunduk pada kepercayaan itu, dan tunduk padanya merupakan suatu penyerahan/kepasrahan manusia. Kalau manusia sudah tunduk kepada kepercayaan itu, maka ada suatu kemauan dalam diri manusia, untuk melaksanakan yang kepercayaan itu perintah, serta menjauhi larangan yang kepercayaan itu larang. Kalau sudah seperti ini, dimanakah letak kemerdekaan manusia? Seperti yang dikatakan Cak Nur sendiri, “Penyerahan akan meniadakan kemerdekaan, keikhlasan, dan kemanusiaan”. Adakah kontradiksi dalam pernyataannya?
            Sebelumnya Cak Nur mengatakan, hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan, yang berarti bahwa penyerahan/ketundukan manusia pada dunia sekitarnya adalah “tindakan yang salah”, karena akan meniadakan/menghilangkan kemerdekaan, keikhlasan, dan kemanusiaannya. Selanjutnya ia mengatakan, sekalipun manusia merdeka tidak tunduk/serah terhadap dunia sekitarnya, manusia masih dan mesti tunduk kepada kebenaran, yang berarti bahwa penyerahan/ ketundukkan manusia kepada kebenaran adalah “tindakan yang benar”. Sebab Cak Nur mengatakan sebelumnya, tujuan hidup manusia merdeka dengan segala kegiatannya adalah kebenaran, dengan kata lain kebenaran adalah tujuan hidup “manusia yang merdeka”.
            Dari kedua pernyataan tersebut, maka dapat diambil dua kesimpulan. Pertama Cak Nur melarang manusia merdeka tunduk pada dunia sekitarnya/keduniaan. Berarti bukanlah manusia merdeka, jika masih tunduk pada keduniaan, dimana keduniaan adalah “sesuatu” yang sifatnya material/fisik. Kedua, Cak Nur menyarankan menyarankan manusia merdeka tunduk pada “kebenaran”, berarti bukanlah manusia merdeka, jika belum tunduk pada kebenaran, dimana kebenaran adalah “sesuatu” yang sifatnya transenden/metafisik.
            Penulis sepakat dengan kesimpulan pertama, namun masih merasakan ragu-ragu pada kesimpulan kedua. Keragu-raguan penulis ini karena penulis masih mempertanyakan, apakah kemerdekaan itu? Bukankah kemerdekaan adalah kebebasan melakukan kegiatan yang ingin dilakukan? Dan kebebasan berarti bebas dari segala sesuatu yang menghalangi kebebasan itu sendiri.
            Namun jika penulis memperhatikan pernyataan saudara Dany Ramdany dalam kajian tersebut: “kebebasan absolut tidak akan pernah bisa terwujud, karena menghendaki kebebasan absolut, berarti juga menghilangkan segala sesuatu yang menghalangi kebebasan itu. Semisalkan kita tidak merasa bebas karena orang tua, maka orang tua  harus dihilangkan dari kehidupan kita. Begitu juga dengan sekolah, kuliah, pekerjaan, teman, rumah, saudara, polisi, negara, bahkan dunia jika itu semua menyebabkan kita tidak bebas, maka harus kita hilangkan dari kehidupan kita. Seandainya dunia, jagat raya, beserta isinya telah kita hilangkan, kita pun masih tidak merasa bebas karena kehidupan kita sendiri. Dalam kehidupan kita ada banyak pertentangan:  antara perasaan sedih, senang, rindu, bahagia, bahkan perasaan bebas itu sendiri; dan kalau itu semua menghalangi kita untuk merasa bebas, maka kehidupan kita pun harus dihilangkan dari kehidupan kita”.  
            Secara eksplisit pernyataan tersebut memang terkesan mengada-ada, namun jika dihayati secara mendalam maka ada benarnya juga. Kebebasan absolut/bebas sebagai bebas mustahil diwujudkan. Dan karena hidup manusianya itu sendiri terbatas, maka tidak mungkin menggapai sesuatu yang tidak terbatas; “kebebasan absolut”.
            Maka dari itu, kembali ke pernyataan Cak Nur, manusia yang merdeka masih dan mesti tunduk pada kebenaran. Manusia yang merdeka mempunyai tujuan hidup untuk mengabdi kepada kebenaran. Dan tujuan hidup yang terakhir dan mutlak bagi manusia adalah menuju kebenaran akhir dan mutlak sebagai tempat menundukkan diri. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak, maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula. Selanjutnya menurut Cak Nur, secara kultur dan bahasa kita, maka kita sebut kebenaran mutlak itu sebagai Tuhan, dan Tuhan dalam agama islam menyatakan diri sebagai Allah SWT (Lukman [31]: 30).
            Sampai disini penulis berkesimpulan, antara kebebasan dengan ketundukkan itu tak dapat dipisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang menempel pada setiap manusia sebagaimana adanya. Kita tidak dapat memilih salah satunya secara absolut, tetapi hanya kecendrungan pada salah satunya. Manusia bisa merasakan kebebasan dalam ketundukkannya, atau merasakan ketundukkan dalam kebebasannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar