Selasa, 30 Juli 2013

Manusia Modern Dalam Pandangan Sayyed Hossein Nasr





A. Pendahuluan
            Peradaban barat modern merupakan perdaban yang secara materi telah berhasil membawa umat manusia ketingkat kemajuan dan keberhasilan secara materi. Peradaban modern telah berhasil membuktikan eksistensi manusia sebagai makhluk lebih unggul ketimbang makhluk manapun di bumi ini. Namun, berbagai kemajuan tersebut yang dicapai ternyata tidak cukup untuk lebih memposisikan manusia sebagai manusia. Manusia malahan seperti kehilangan identitas kemanusiaanya dan kini nilai manusia sudah dalam posisi yang sudah sangat “menyedihkan” karena kini manusia bisa diatur oleh seperangkat peralatan mekanik yang diciptakannya sendiri.
            Peradaban modern juga semakin menggelapkan hati manusia dan semakin menempatkan posisi manusia dalam kemajuan yang semu belaka. Apa yang telah menjadi keberhasilan manusia modern tidak lantas kemudian semakin mendekatkan manusia pada Tuhan yang secara hakikat ada dibelakang segala keberhasilan umat manusia, kemajuan peradaban modern justru telah menggiring manusia pada kesombongan. Dan puncak dari kesombongan itu adalah klaim bahwa manusialah yang telah menjadikan segala keberhasilan yang selama ini dicapai, sementara Tuhan tidak memiliki andil apapun. Malahan banyak diantara mereka yang kemudian karena kesombongan dan karena tertipu paham rasionalisme dan materialisme berkesimpulan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang absurd.
            Keyakinan atau aqidah adalah unsur yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Ia merupakan referensi bagi suatu tindakan, dalam arti bahwa sebelum seseorang melakukan suatu perbuatan, dia hampir selalu menimbang dengan keyakinan yang dimilikinya. Keyakinan ini pula yang kemudian melandasi gerak perjuangan sayyed Hossein Nasr. Keyakinannya yang kuat bahwa apa yang menjadi landasan kemajuan bukanlah semata harus berlandaskan nilai-nilai material, telah mendorong ia untuk banyak mengkritik peradaban barat yang ia nilai hanya sebagai peradaban yang semu. Malahan Nasr merasa khawatir terhadap semakin menonjolnya kecenderungan umat Islam yang lebih mengiblat terhadap peradaban barat dan telah melupakan akar budayanya.
            Makalah ini akan menghadirkan berbagai macam pemikiran sayyed Hossein Nasr tentang manusia, terutama kritiknya terhadap fenomena manusia modern, serta solusi yang ditawarkannya Nasr untuk menjawab tantangan tersebut.
B. Biografi Sayyed Hossein Nasr
            Seyyed Hossein Nasr lahir di kota Teheran, Iran, pada tanggal 7 April 1933. Ayahnya seorang ulama terkenal di Iran dan juga seorang guru dan dokter pada masa dinasti Qajar bernama Seyyed Valiullah Nasr.[1] Sebutan dengan gelar Seyyed adalah sebutan kebangsawanaan yang dianugerahkan oleh raja Syah Reza Pahlevi kepada keduanya.
            Latar belakang keagamaan keluarga Nasr adalah penganut aliran Syi‟ah tradisional[2] yang memang menjadi aliran teologi Islam yang banyak dianut oleh penduduk Iran. Dominasi paham Syi‟ah di Iran bertahan sampai sekarang, walaupun telah terjadi revolusi di sana. Hal ini disebabkan karena paham Syi‟ah telah lama hidup di sana yang didukung oleh banyak ulama terkenal dan berpengaruh.
            Sebelum pindah ke Amerika untuk belajar formal ilmu modern pada umur 13 tahun, Nasr memperoleh pendidikan tradisional di Iran. Pendidikan tradisional ini diperoleh secara informal dan formal. Pendidikan informalnya dia dapat dari keluarganya, terutama dari ayahnya. Sedangkan pendidikan tradisional formalnya diperoleh di madrasah Teheran. Selain itu oleh ayahnya dia juga dikirim untuk belajar di lembaga atau madrasah pendidikan di Qum yang diasuh Allamah Thabathaba‟i untuk belajar filsafat, teologi dan tasawuf. Ia juga diberi pelajaran tentang hafalan al-Quran dan pendidikan tentang seni Persia klasik.[3]
            Obsesi Valiullah Nasr agar Hossein Nasr menjadi orang yang memperjuangkan kaum tradisional dan nilai-nilai ketimuran dimulai dengan memasukkkan Hossein Nasr ke Peddie School di Hightstown, New Jersey lulus pada tahun 1950. Kemudian melanjutkan ke Massacheusetts Institute of Technology (MIT). Di institusi pendidikan ini Nasr memperoleh pendidikan tentang ilmu-ilmu fisika dan matematika teoritis di bawah bimbingan Bertrand Russel yang dikenal sebagai seorang filosof modern. Nasr banyak memperoleh pengetahuan tentang filsafat modern.
            Selain bertemu dengan Bertrand Russel, Nasr juga bertemu dengan seorang ahli metafisika bernama Geogio De Santillana. Dari kedua ini Nasr banyak mendapat informasi dan pengetahuan tentang filsafat Timur, Khususnya yang berhubungan dengan metafisika.[4] Dia diperkenalkan dengan tradisi keberagamaan di Timur, misalnya tentang Hinduisme. Selain itu Nasr juga diperkenalkan dengan pemikiran-pemikiran para peneliti Timur, diantaranya yang sangat berpengaruh adalah pemikiran Frithjof Schuon tentang perenialisme. Selain itu juga berkenalan dengan pemikiran Rene Guenon, A. K. Coomaraswamy, Titus Burchardt, Luis Massignon dan Martin Lings.
            Pada tahun 1956 Nasr berhasil meraih gelar Master di MIT dalam bidang geologi yang fokus pada geofisika.[5] Belum puas dengan hasil karyanya, beliau merencanakan untuk menulis desertasi tentang sejarah ilmu pengetahuan dengan melanjutkan studinya di Harvard University. Dalam menyusun disertasinya Nasr dibimbing oleh George Sarton. Akan tetapi sebelum disertasi ini selesai ditulisnya, George Sarton meninggal dunia, sehingga Nasr mendapatkan bimbingan berikutnya oleh tiga orang professor, yaitu Bernard Cohen, Hammilton Gibb dan Harry Wolfson. Disertasi ini selesai dengan judul “Conceptions of Nature in Islamic Thought” yang kemudian dipublikasikan oleh Harvard University Press pada tahun 1964 dengan judul “An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines”. Dengan selesainya disertasi ini Nasr mendapat gelar Philosophy of Doctor (Ph.D) dalam usia yang cukup muda yaitu 25 tahun tepatnya pada tahun 1958.
            Semasa belajar di Barat Seyyed Hossein Nasr bertemu dengan banyak pemikir Barat yang mengkaji Islam dari berbagai macam perspektif. Selain ia belajar tentang ilmu sain di Barat, Nasr juga kemudian tertarik kembali mempelajari ilmu-ilmu metafisika, khususnya metafisika Timur yang banyak ia dapatkan di perpustakaan-perpustakaan Barat. Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan ini tidak lepas dari latar belakang kehidupannya sebagai seorang Iran yang kental dengan budaya mistik kesufian dan didukung oleh pengetahuan mistis dari ajaran Syi’ah.
            Pemikiran yang sangat mempengaruhi Nasr adalah pandangan filsafat perennial.[6] Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon seorang perenialis sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan esoterik Islam.[7] Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and Perennial Philoshopy. Sehingga Nasr memberikan gelar padanya sebagai My Master. Salah satu tokoh yang juga banyak mempengaruhi Nasr adalah Rene Guenon.[8] Rene Guenon merupakan salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi orientasi tradisionalisme Nasr, khususnya peletak pandangan metafisis hermetisme, sebagai bagian yang penting dalam kerangka besar pemikiran perennial.
            Seyyed Hossein Nasr kembali ke Iran tahun 1958 setelah menyelesaikan program doktornya di Harvard University. Sekembalinya ke Iran ia segera bergabung dengan kegiatan-kegiatan akademis di sana. Kedalaman ilmunya memberikan satu tempat khusus baginya sebagai seorang tokoh baru di Iran. Nasr aktif dalam kegiatan akademis dan keagamaan, seperti keterlibatannya dalam diskusi-diskusi dengan para tokoh Syi‟ah di sana semisal Allamah Thabathaba‟i, Muhammad Kazim „Assar dan Abu Hasana Rafi‟i Wazwini.[9]
            Nasr lebih berkiprah di dunia akademis diawal-awalnya. Ia banyak mempengaruhi filsafat Islam modern di Iran melalui karya-karyanya, dengan mensponsori berbagai konferensi dan mendirikan pusat kajian filsafat Islam pada tahun 1960-an sampai 1970-an. Dalam catatan Aminrazavi Nasr telah mempelopori berdirinya Imperial Iranian Academy of Philosophy, dengan kontribusinya telah menerbitkan jurnal ilmiah yang bertajuk Javidan Khirad (Sophia Perennis) dan juga telah banyak mempublikasikan teks-teks tradisional dengan jumlah besar.
C. Kritik Sayyed Hossein Nasr terhadap Peradaban Modern
            Hampir tidak ada lagi pokok perdebatan yang memancing gejolak rasa dan perdebatan dikalangan umat Islam dewasa ini selain relasi antara pemikiran Islam dengan dunia barat. Disadari atau tidak peradaban barat telah menggerogoti konstruk pemikiran Islam sehingga barangkali sudah lebih dari dua abad umat Islam hidup dalam bayang-bayang peradaban barat, banyak pihak yang merasa khawatir akan tercerabutnya nilai-nilai Islam itu sendiri dari pemeluknya.
            Peradaban barat telah menimbulkan multi krisis, baik krisis moral, spiritual, dan krisis kebudayaan yang dimungkinkan lebih disebabkan corak peradaban modern industrial yang dipercepat oleh globalisasi yang merupakan rangkaian dari kemajuan barat pasca renaisans yang membawa nilai-nilai antroposentrisme dan humanisme sekuler. Paham yang serba mendewakan manusia dan kehidupan dunia yang sifatnya temporal. Hal ini secara faktual telah melahirkan tercerabutnya kebermaknaan dalam hidup manusia, akibat hilangnya nilai-nilai transendental agama dari kehidupan manusia. Pada antroposentrisme dan humanisme sekuler yang mendewakan kedigdayaan manusia, dan relatifitas itu akhirnya telah melahirkan krisis kemanusiaan yang sudah semakin mengkhawatirkan dalam kehidupan peradaban manusia sedunia. Manusia yang sebelumnya diposisikan sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna dan paling tinggi derajatnya menjadi subordinasi dalam tekno- struktur, menjadi bagian dari benda-benda (hasil teknologi) yang diciptakannya sendiri, sehingga manusia teralienasi dari identitasnya sebagai makhluk Tuhan yang merdeka dan memiliki fitrah hati nurani.
            Satu hal hal yang dianggap sebagai kegagalan peradaban modern yang paling fatal ialah percobaan manusia untuk hidup dan menapikan keberadaan Tuhan dan agama. Suatu hal yang tentu sangat bertentangan dengan fitrah manusia yang dalam hatinya memiliki potensi ilahiyah, dan pasti akan selalu membutuhkan sesuatu yang bersifat transenden yaitu Tuhan. Seperti ungkapan Peter L Berger “Nilai-nilai supernatural telah hilang dari peradaban barat modern”. Lenyapnya nilai nilai tersebut dapat diungkapkan dalam suatu rumusan yang agak dramatis sebagai ‘Tuhan telah mati”. Inilah lanjutan dari sekularisasi kesadaran. Dengan hilangnya batasan-batasan yang dianggap dan diyakini sebagai sakral dan absolut, manusia modern lalu melingkar-lingkar dalam dunia yang serba relatif, terutama sistem nilai dan moralitas yang dibangunnya.
            Proses sekularisasi melangkah lebih jauh pada abad ke-19 bahkan memasuki wilayah Teologi, yang sampai saat itu masih secara alamiah bersatu dengan kerangka agama, dan kemudian jatuh dibawah kekuasaan sekularisme. Pada wakti itu ideologi agnostik dan ateistik mulai mengancam teologi itu sendiri sementara persfektif teologi tradisional mulai mundur dari satu wilayah yang seharusnya didudukinya. Yakni wilayah pemikiran agama yang murni. Disini penting disebutkan bahwa teologi yang dipahami dalam konteks barat adalah hal yang utama bagi Kristen, berbeda dengan Islam yang menempatkan teologi tidak sepenting hukum Islam. Dalam Kristen, semua pemikiran yang serius berkaitan dengan teologi dan karenanya kemunduran teologi Kristen pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dari berbagai wilayah pemikiran juga berarti kemunduran agama di barat dari kehidupan sehari-hari dan pemikiran manusia barat. Kecenderungan ini mencapai tingkat seperti itu pada abad ke-20 ketika sebagian besar teologi itu, secara berangsur-angsur mengalami proses sekularisasi.[10]
            Manusia tentu saja tidak bisa mengangkat dirinya secara spiritual dengan begitu saja. Ia harus dibangunkan dari mimpi buruknya oleh seseorang yang telah sadar. Karena itu manusia memerlukan petunjuk Tuhan dan harus mengikuti petunjuk itu, agar dia dapat menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya dan agar ia mampu mengatasi rintangan dalam menggunakan akalnya. Nasr berkeyakinan bahwa akal dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan apabila akal itu sehat dan utuh (salim), dan hanya petunjuk Tuhan yang menjadi bukti yang paling meyakinkan dari pengetahuan-Nya yang dapat menjamin keutuhan dan kesehatan akal, sehingga akal dapat berfungsi dengan baik dan tidak terbutakan oleh nafsu keduniawian. Setiap orang membutuhkan petunjuk Tuhan dan nabi yang membawa petunjuk itu, kecuali ia sendiri terpilih, atau menjadi orang suci yang merupakan pengecualian.[11]
            Sebagai manusia yang telah dibimbing oleh agama, kita tidak seharusnya mencontoh apa yang menjadi sisi negatif dari medernisasi di dunia barat, meskipun peranan modern itu lahir dari sebuah keunggulan metodologi sains. Yang harus kita lakukan sekarang adalah mengusahakan agar bagaimana iman, ilmu, dan teknologi senantiasa selalu berjalan beriringan. Yang menjadi tugas kita sekarang adalah bagaimana agar kita dapat mengangkat kembali dan mengembalikan posisi kemanusiaan dalam tempat semula yang lebih baik. Seperti yang telah dikatakan Yusuf Qardhawi, manusia barat telah membuka tabir pengetahuan yang cukuyp banyak. Tetapi mereka tidak mampu menguak misteri dibalik wujudnya. Mereka telah mengetahui pengetahuan fisik, tetapi tidak dapat menundukan nafsunya. Mereka telah mendapatkan nuklir, tetapi gagal mendapatkan ideologi dan spiritnya. Sangat indah apa yang telah dikatakan filosof India ditunjukan kepada salah seorang pemikir Barat, “Sudah cukup baik, kalian terbang tinggi di udara bagai burug. Kalian telah menyelam ke dasar laut seperti ikan. Namun kalian sama sekali tidak berjalan baik di muka bumi ini seperti layaknya manusia.[12] Mungkin inilah yang bisa kita sebut sebagai krisis identitas. Peradaban barat yang maju dari segi materi, ternyata telah gagal memahami manusia sebagai makhluk yang multi dimensia. Manusia bukan hanya sebatas makhluk yang mengandalkan kemampuan indera dan akal, tetapi lebih dari itu ia adalah makhluk Tuhan yang mengemban amanat dari Tuhannya untuk menjadi pemimpin dan pengelola segala potensi yang ada di dunia ini, untuk kemudian dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan.
            Manusia modern harus kembali diingatkan dan diarahkan kepada kesucian, Tuhan yang merupakan asal dan sekaligus pusat dari segala sesuatu dan kepadanyalah manusia kembali. Tentulah sudah meruypakan suatu konsekuensi apabila manusia harus mengabdi pada Tuhan. Pemisahan manusia dari kesempurnaan aslinya dan seluruh nilai-nilai ambivalen yang dimilikinya tentu hanya akan menggiring manusia pada apa yang dikatakan Kristen “kejatuhan”, tidak ada fungsi kekuatan-kekuatan ini yang semestinya dan secara otomatis menurut sifat teomorfis manusia. Manusia berada dalam belenggu kebebasan yang semu, sifat ketuhanan (theomorfis) yang seharusnya ada pada peradaban modern maupun renaisans. Kepada manusia-manusia yang seperti inilah tradisi agama seharusnya disampaikan dan manusia-manusia batiniah inilah yang hendak dibebaskan treadisi dari belenggu ego dan keadaan yang mencekikm karena sebuah aspeknya dilupakan dan dianggap sama sekali eksternal. Hanya tradisi yang dapat membebaskan mereka, bukan agama-agama palsu yang pada saat ini sedang bermunculan.[13]
            Sebagian orang Barat sebenarnya telah menyadari bahwa ada penyakit dalam peradaban mereka yang padahal sudah sangat modern. Mereka melihat bahwa peradabannya telah menghanguskan fitrah manusia, menghadang ketentraman jiwa, dan meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Diantara mereka adalah Bernard Shaw lewat dramanya, Spengler, lewat bukunya Runtuhnya barat, Toynbee, lewat buku-buku sejarahnya, Alexis Carell dengan bukunya yang terkenal Al- Insaan dzaalikal Majhuul (Unknown Man/ Misteri Manusia), dan yang lain. Hanya saja mereka merupakan pribadi yang sebelumnya telah banyak diracuni penyakit, dan setelah itu mereka tidak tahu untuk mengobatinya.[14]
            Obat itu sebenarnya ada pada kita, bukan orang diluar kita. Obat itu ada pada peradaban kita uyang Illahiyah., Insaniyah, dan Universal. Suatu peradaban haq, bajik, seimbang serta adil. Peradaban yang mendudukan segalanya pada porsi yang sebenarnya. Tidak menyimpang dari posisinya. Suatu tata peradaban yang memadukan mesjid dan pabrik, memadukan agama dan ilmu, akal dan hati, materi dan ruh, serta menyelaraskan hubungan waktu kemarin hari ini dan esok, idealisme dan realisme.
D. Gagasan Islam Tradisional (Tradisionalisme)
            Sebelum kita membahas lebih mendalam bahasan ini, alangkah baiknya apabila kita terlebih dahulu mengetahui apa arti dari tradisi. Tradisi bisa berarti ad-din dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang mencakup semua aspek agama dan percabangannya; bisa pula disebut as-sunnah, yaitu apa yang sudah menjadi tradisi sebagaimana kata ini umumnya dipahami; bisa juga diartikan al-silsilah, yaitu rantai yang mengkaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada sumber, seperti tampak gamblang dalam sufisme. Karenanya tradisi mirip sebuah pohon, akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat illahi dan darinya tumbuh batang dan cabang-cabang sepanjang zaman. Dijantung pohon tradisi itu berdiam agama, dan saripatinya terdiri dari barakah yang karena bersumber dari wahyu, memungkinkan pohon tersebut terus hidup. Tradisi menyiratkan kebenaran yang kudus, yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta penerapan bersinambung prinsip-prinsip yang langgeng terhadap berbagai situasi ruang dan waktu.[15]
            Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk yang terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang suci, yang tak lain adalah manusia tradisional. Manusia suci, menurut nasr, hidup di dunia yang mempunyai asal maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.[16]
            Sejauh doktrin tradisional tentang manusia diperhatikan, hal itu didasarkan pada konsep manusia primordial sebagai sumber kemanusiaan, refleksi total dan lengkap mengenai Illahi dan realitas pola dasar yang mengandung posibilitas-posibilitas eksistensi kosmik itu sendiri. Signifikasi Islam tradisional dapat pula dipahami dalam sinaran sikapnya terhadap fase Islam. Islam Tradisional menerima Qur‟an sebagai kalam Tuhan baik kandungan maupun bentuknya: sebagai persoalan duniawi abadi kalam Tuhan, yang tak-tercipta dan tanpa asal-usul temporal. Islam tradisional juga menerima komentar-komentar tradisional atas Qur‟an yang berkisar dari komentar-komentar yang linguistik dan historikal hingga yang sapiental dan metafisikal.[17]
            Sifat primordial dan paripurna tentang manusia yang Islam menyebutnya “Manusia sempurna”(insan kamil), dan doktrin-doktrin sapiensial kuno Gracco-Aleksandrian juga menyinggung dalam istilah yang hampir sama, kecuali aspek-aspek Abrahamik dan Islamik yang secara khusus tidak muncul dalam sumber-sumber Neo-platonik dan hermetik, yang menyatakan bahwa realitas manusiawi mempunyai tiga aspek fundamental. Pertama adalah dari realitas pola dasar alam semesta, kedua instrumen atas makna dimana wahyu turun ke dunia, dan ketiga, model sempurna untuk kehidupan spiritual dan pemancar pengetahuan esoterik mutakhir. Dengan kebajikan realitas manusia universal, manusia terestrial dapat memperoleh akses pewahyuan dan tradisi, sehingga tersucikan. Akhirnya, melalui realitas yang tak lain daripada aktualisasi realitas manusia itu sendiri, manusia mampu mengikuti jalan sempurna yang akhirnya memungkinkan memperoleh pengetahuan suci, dan akhirnya menjadi dirinya sendiri secara sempurna.[18]
            Mengenai metafisika, Nasr berpendapat bahwa metafisika merupakan pengetahuan yang real. Ia menjelaskan asal-usul dan tujuan semua realitas, tentang yang absolut dan relatif . oleh karena itu, Nasr mengusulkan jika manusia ingin tinggal di dunia lebih lama, prisip-prinsip metafisika harus dihidupkan kembali.[19]
E. Gagasan Pembaruan ke Arah Islam Tradisi
            Keyakinan atau aqidah adalah unsur yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Ia merupakan referensi bagi suatu tindakan, dalam arti bahwa sebelum seseorang melakukan suatu perbuatan, dia selalu menimbangnya dengan keyakinan yang dimilikinya. Sebelum bertindak, seseorang yang memiliki keyakinan agama, misalnya, pasti terlebih dahulu menilai apakah perbuatan yang akan dilakukannya sesuai dengan keyakinan agamanya atau kah tidak. Jika sesuai, ia akan melakukannya dengan sebaik-baiknya, sebab dia yakin bahwa perbuatannya bahwa perbuatannyatidak hanya memiliki dampak bagi kehidupan masa kininya, tetapi juga pada kehidupan akhiratnya kelak. Akan tetapi, jika perbuatan itu bertentangan dengsn keyakinannya, maka kemungkinan besar dia tidak akan melakukannya. Kalau pun karena satu dan lain alasan kemudian dia melakukannya juga, dia pasti akan merasa bersalah dan berdosa.[20] Barangkali semua dorongan itulah yang menyebabkan timbulnya dorongan yang kuat bagi Nasr untuk tetap menggelorakan pembaharuan (tajdid) kearah bangkitnya kembali Islam Tradisional yang diyakininya merupakan solusi terbaik bagi umat Islam untuk mengangkat kembali Islam yang telah “terinjak” dibawah peradaban modern barat.
            Menurut Yusuf Qardhowi tajdid diartikan “pembaruan, modernisasi” yakni upaya mengembalikan pemahaman agama kepada kondisi semula sebagaimana masa nabi. Ini bukan berarti hukum agama harus persis seperti yang terjadi pada waktu itu, melainkan melahirkan keputusan hukum untuk masa sekarang sejalan dengan maksud syar’i dengan membersihkan dari unsur-unsur bid’ah, khurafat dan pikiran-pikiran asing.[21]  lebih lanjut Yusuf Qardhowi mengatakan bahwa kita harus mengembalikan kemurnian Islam menuju aqidah, kemurnian tauhid, menuju ibadah, kemurnian misi menuju akhlak dan moralitas Islami dan semangat keIslaman.[22]
            Semangat pembaharuan (tajdid) ini merupakan cita-cita Nasr untuk mengembalikan Islam pada kedudukannya semula yang sekarang ini sudah banyak terkontaminasi modernisasi barat yang sekuler, dan meninggalkan nilai-nilai Illahiah dan insaniah. Nasr kemudian mengindentikan tajdidd dengan renaisans yang menurut pengertian yang sebenarnya. Suatu renaisanas dalam Islam berkaitan dengan tajdid, atau pembaruan, yang dalam konteks tradisional diidentikan dengan fungsi dari tokoh pembaruan (mujaddid)[23] tersebut. Tetapi seorang mujaddid selalu merupakan perwujudan dari prinsip-prisip Islam yang hendak ditegakan dan diterapkan kembali di dalam situasi tertentu. Jadi, seorang mujaddid berbeda dengan seorang “tokoh reformasi” menurut pengertian modernnya yang disebut muslih. Bahkan seorang mujaddid berbeda sekali dengan seorang tokoh reformasi karena ia bersedia mengorbankan sebuah aspek tradisi agama, demi faktor ketergantungan tertentu yang paling ditonjolkan mereka sebagai mereka sebagai hal yang sangat mempesona, karena dikatakan kondisi zaman yang tak dapat dihindari atau ditolak.[24]
            Pembaruan yang dilakukan Nasr adalah mengembalikan manusia pada asalnya sebagaimana telah dilakukan manusia dalam perjanjian suci dengan Tuhannya, dari kealpaan tentang dirinya, sehingga membuat dirinya jatuh kedalam belenggu karya rasionalitasnya yang meniadakan Tuhan. Manusia menurut Nasr, pada awalnya adalah makhluk suci, namun karena penolakannya kepada Tuhan melalui tradisi Ilmiah telah membuat dirinya tak mengenal siapakah realitas sesungguhnya dia dihadapan Tuhannya.
            Nasr berpendapat bahwa pembaruan tidak bisa hanya dilakukan dari sisi materi saja, tetapi juga yang paling dasar adalah melakukan perubahan dari dalam dirinya sendiri, untuk kemudian ia melakuan pembaruan terhadap realitas yang ada disekitarnya. Dewasa ini seorang mujaddid tidak mungkin dilakukan oleh orang yang pikirannya telah dicuci oleh konsep-konsep modern, tetapi tidak pula bisa dilakukan oleh orang yang mengerti seluk beluk dunia modern.
            Dalam hal ini seorang Nasr merupakan figur yang sangat relevan kita ia menggembor-gemborkan tentang tajdid. Nasr merupakan tokoh yang memiliki wawasan yang sangat luas tentang seluk-beluk peradaban modern dengan segala implikasi-implikasi yang bisa ditimbulkannya. Namun demikian, keakraban Nasr dengan alam modern tidak lantas menyebabkan ia tercerabut dari akar peradaban Islam, malah ia lebih menancapkan lagi dimana posisi Islam seharusnya ditempatkan. Nasr telah berhasil menciptakan batasan-batasan antara Islam dan barat, tradisi dan modernisasi, dan dengan itu semua orang bisa memilih posisi dimana ia akan mengambil tempat.
F. Kesimpulan dan Penutup
            Pandangan Seyyed Hossein Nasr yakni tentang manusia tradisional versus manusia modern merupakan kritik terhadap pola pikir modernitas yang mengagungkan rasionalitas dalam segala hal. Islam tradisional menurut pemikiran Seyyed Hossein Nasr bahwa pola pikir yang demikian akan membawa manusia kepada keterambangan dan tidak punya tujuan hingga menjadikan hidup manusia jauh dari kebahagian.
            Islam tradisional ditawarkan sebagai alternatif untuk menggantikan modernitas yang tidak mampu memandang realitas kehidupan secara keseluruhan. Visi Islam tradisional lebih utuh untuk bisa memandang realitas karena Islam tradisional memandang realitas dalam bingkai yang lebih besar yang terhubungan dengan keilahian.
            Tradisi ibarat pohon yang akarnya terbenam dalam hakekat ilahi dan dari pohon itulah tumbuh batang dan rantingnya yang tumbuh sepanjang masa. Tradisi yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr ini merupakan versus paham modern yang melepaskan diri dari ilahi dan dari prinsip-prinsip abadi yang dalam realitasnya mengatur segala sesuatu. Inilah yang menjadi titik landasan dan dasar pemikiran yang ia bangun.
            Demikian pemaparan makalah ini tentang manusia tradisional versus manusia modern perspektif sayyed Hossein Nasr, dan semoga kita semua dapat memahaminya, walaupun tak seutuh sebagaimana sayyed Hossein Nasr memahami pemikirannya sendiri. Walaupun demikian, ketidak-pahaman kita akan sesuatu, itu pun merupakan suatu bentuk pemahaman kita itu sendiri akan sesuatu tersebut. Yakin usaha sampai.
DAFTAR PUSTAKA
Afif, Muhammad. Dari Teologi ke Ideologi, (Bandung: Pena Merah 2004).
Aminrazavi, Mehdi dan Zailan Moris. The Complete Bibliografi of Seyyed Hosein Nashr from 1958             through 1993. (Kuala Lumpur: t.p 1994).
Maksum, Ali. Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep             “Tradisionalisme Islam” Saiyyed Hossein Nasr. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003).
Munir,A. dan Sudarsono. Aliran Modern Dalam Islam, (Rineka Cipta, Jakarta 1994).
Nasr, Seyyed Hossein. Intelektual Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1997).
Nasr, Seyyed Hossein. Islam dalam Cita dan Fakta, (terj. Abdurrahman Wahid dan Hashim Wahid,.            (Jakarta: LEPPENAS, PT. Panca Gemilang Indah  1983).
Nasr, Seyyed Hossein. Islam dan Nestapa Manusia Modern. (Bandung: Penerbit Pustaka 1983).
Nasr, Seyyed Hossein. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern. (Bandung: Penerbit Pustaka            1994).
Nasr, Seyyed Hossein. Menjelajahi Dunia Modern, (Bandung: Mizan. 1995).
Qardhawi, Yusuf. Epistemologi AL-Quran. (Surabaya: t.p 1996).
Qardhowi, Yusuf. Keprihatinan Muslim Modern, (Surabaya: Dunia Ilmu 1997)
Saefullah, Chatib. Pemikiran Sayyed Hossein Nasr Tentang Epistemologi, (Tesis Oleh Dawam         Raharjo), 1995.
http://wikipedia.com


[1] Aminrazavi and Moris, The Complete Bibliografi Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993, hal. xiii.
[2] Kata tradisional dan tradisi disini yang dimaksudkan bukanlah kebiasaan, adat istiadat atau penyampaian ide-ide atau motif secara otomatis dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Tradisi yang dimaksud disini yaitu serangkaian prinsip yang diturunkan dari langit dengan disertai sebuah manifestasi Ilahiah, dengan disesuaikan pada konteks kemasyarakatan yang berbeda-beda. Lihat: Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, hal. 79
[3] Aminrazavi and Moris, The Complete Bibliografi Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993, hal. xiii.
[4] http://wikipedia.com/
[5] Ibid
[6] Filsafat perennial adalah nama lain dari metafisika Islam sebagaimana dipahami Nasr. Ia juga menyebutnya sebagai ilmu tentang Kenyataan Ultim, yang ada dalam semua agama atau tradisi spiritual sejak awal sejarah intelektual manusia hingga kini. Meskipun disebut “filsafat”, warna mistikalnya amat kental.
[7] Nasr banyak merujuk pemahaman tentang esoteris dan eksoteris Islam dari buku Frithjof Schuon berjudul Understanding Islam yang diterjemahkan dari bahasa aslinya berbahasa Perancis berjudul Comprendre I’Islam oleh D.M. Matheson.
[8] Pemikir ini banyak memberikan kontribusi mengenai pandangan-pandangan metafisis dalam filsafat perenial, yang berisi kritik atas filsafat Barat modern. Dan yang paling urgen adalah dia juga seorang tokoh utama dalam perspektif tradisional di dunia modern yang banyak berbicara tentang makna tradisi.
[9] Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Saiyyed Hossein Nasr, hal. 50
[10] Sayyed Hossein Nasr, Menjelajahi Dunia Modern, hal 149
[11] Sayyed Hossein Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, hal 7-8
[12] Yusuf Qardhawi, Epistemologi al-Quran, hal 113
[13] Sayyed Hossein Nassr, Islam dan Nestapa Dunia Manusia Modern, hal 83
[14] Yusuf Al-Qardhawi, Epistemologi al-Quran, hal 114-115
[15] Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, hal.3
[16] Sayyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, h. 185
[17] Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, hal.4
[18] Ibid, hal 192
[19] Chatib Saefullah, Pemikiran Sayyed Hossein Nasr Tentang Epistemologi, hal.75
[20] Afif Muhammad, Dari Teologi Ke Ideologi, hal.1
[21] Munir.A, dan Sudarsono, Aliran Modern dalam Islam, hal.8
[22] Yusuf Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, hal.47
[23] Ibid, hal.106
[24] Ibid, hal. 12 & 206

Tidak ada komentar:

Posting Komentar