Kamis, 19 Juni 2014

Orang Neo-Pojokan


@ikhsanyaqub
“Kita telah gagal, bahkan gagal sebelum mengetahui apa itu keberhasilan!”. Kira-kira seperti itulah suara-suara parau yang ku dengar dari mulut-mulut asam orang pojokan. Tatapan-tatapan kosong “khas” orang pojokan di siang hari (entah apa yang mereka pikirkan; kelaparan atau mungkin kasmaran) seolah menjadi pemanis tumpahan kopi di atas “lantai pengetahuan” itu.

Menjelang sore, pojokan pun sudah mulai ramai oleh orang-orang penghamba absen, dihiasi ceng-cengan yang juga absenistik. Sesekali topik dialihkan kepada pilpres, cinta yang tak sampai, piala dunia, puasa, RAK (Ssst..), KKN, lebaran, dan aforisme-aforisme pojokan lainnya. Indah sekali, mengiringi keindahan mendung di akhir juni Ushuluddin.
Namun dibalik keindahannya itu, apa sebenarnya yang mereka tunggu? Hey, tunggu dulu! Lantas bagaimana aku? Apa yang aku tunggu bersama mereka disini? Bersama orang-orang “neo-pojokan” ini? Orang-orang yang kehilangan induknya, atau telat menjadi induk, atau mungkin sudah menemukan induk baru? entahlah.
Aku dengar mereka menunggu kesepakatan, kesepakatan apa? Lantas apakah aku bagian dari kesepakatan itu, sehingga aku masih duduk disini?; menunggu. Padahal anomali-ku atas isu-isu ini sudah memuncak, sementara orang-orang lewat men-generalisirku bahwa aku bersama mereka; menunggu.
Aku juga dengar omongan “bubarkan saja pojokan”, dengan dalih tak ada kajian? Apanya yang akan dibubarkan? Lantas apakah aku juga bagian dari kebubaran itu? Menurutku tak usah dibubarkan pun realitanya memang sudah bubar! Neo-Pojokan,  sejatinya memang tak ada lagi kumpulan yang bercerita tentang kebenaran, tak ada lagi permainan menebak kemauan Tuhan. Tak ada lagi, sosok?
Jawablah apa yang tidak pernah aku pertanyakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar